31.7 C
Jakarta
Array

Spirit Keislaman-Keindonesiaan Pahlawan

Artikel Trending

Spirit Keislaman-Keindonesiaan Pahlawan
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Presiden Ir. Joko Widodo (Jokowi) menganugerahkan gelar Pahlawan Nasional (2017) kepada empat tokoh di Istana Negara, Jakarta, Kamis (9/11). Pemberian gelar ini berdasarkan Keputusan Presiden RI nomor 115/TK/Tahun 2017 per tanggal 6 November tentang Penganugerahan Gelar Pahlawan Nasional.  Keempat tokoh tersebut adalah TGKH Muhammad Zainuddin Abdul Madjid dari NTB, Laksamana Malahayati dari Aceh, Sultan Mahmud Riayat Syah dari Kepulauan Riau, dan Prof. Drs. H. Lafran Pane dari Daerah Istimewa Yogyakarta (Republika.co.id, 09/11/2017). Pemberian anugerah gelar Pahlawan Nasional ini sesuai dengan usulan dari Kementerian Sosial RI kepada Presiden Jokowi tentang permohonan pemberian gelar pahlawan Nasional.

Keempat tokoh yang dianugerahi gelar kepahlawanan tersebut tentu telah terbukti nyata memberikan pengorbanan berharga bagi Indonesia, sehingga mereka layak mendapatkan kehormatan itu. Entah karena kebetulan atau tidak, yang menarik, keempat pahlawan ini adalah tokoh-tokoh muslim yang sangat berpengaruh pada masanya—bahkan dampak perjuangannya masih sangat dirasakan hingga hari ini. Pertama, pendiri Nahdlatul Wathan (NW), Tuan Guru Kiai Haji (TGKH) Muhammad Zainuddin Abdul Madjid. Ia menjadi pahlawan nasional pertama dari Bumi Seribu Masjid, NTB. Ia mendirikan organisasi NW dengan proses dan jalan cerita yang cukup panjang. Nahdlatul Wathan, sebagaimana arti dalam Bahasa Indonesianya, didirikan sebagai bentuk kebangkitan Tanah Air untuk menghadapi ancaman penjajah. Selain itu, doktrin dan ilmu yang diajarkan NW juga menjadi salah satu faktor kuatnya persatuan di daerah Nusa Tenggara Barat.

Kedua, Laksamana Malahayati dari Kesultanan Aceh, adalah salah satu di antara perempuan hebat dalam sejarah Indonesia. Nama ketika dia lahir adalah Keumalahayati. Malahayati merupakan putri dari Laksamana Mahmud Syah. Kakeknya dari garis ayahnya adalah Laksamana Muhammad Said Syah, putra dari Sultan Salahuddin Syah yang memerintah sekitar tahun 1530–1539 M. Perempuan yang merupakan panglima perang angkatan laut dari Kesultanan Aceh itu mampu menghadapi berbagai ancaman penjajah, seperti Purtugis, Belanda, dan Inggris. Malahayati merupakan laksamana wanita pertama di dunia. Mengenai penganugerahan ini, terdapat nilai tersendiri, khususnya bagi para perempuan, untuk menjadikannya inspirasi supaya dapat lebih berperan lagi dalam konteks kehidupan bernegara, baik dalam ranah domestik maupun publik.

Ketiga, Sultan Mahmud Riayat Syah (1760-1812) dari Kepulauan Riau (Kepri). Mahmud Riayat Syah dilantik menjadi Sultan pada 1761 M pada usia belia, saat  masih berusia dua tahun. Ia menjadi pemimpin yang getol melakukan perlawanan terhadap penjajah di Kerajaan Johor-Riau-Lingga dan Pahang. Selain itu, Sultan Mahmud juga merupakan tokoh yang peduli dengan keberagaman. Berbagai suku di antaranya Bugis, Flores, Jawa dan Melayu dapat bersatu di bawah kepemimpinan Sultan Mahmud. Dia bukan hanya berjasa kepada Indonesia, melainkan juga untuk Malaysia. Bahkan, Sultan Mahmud Riayat Syah dikabarkan juga akan mendapatkan gelar kepahlawanan dari negeri Jiran tersebut. Tentu ini menjadi kembanggaan tersendiri bagi bangsa Indonesia, terutama umat Islam dan masyarakat Kepri.

Keempat, Lafran Pane, adalah pendiri organisasi mahasiswa Islam pertama di Indonesia, yakni Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). Selain itu, ia juga menjadi tokoh muda perintis kemerdekaan dan upaya mempertahankannya. Sampai saat ini, HMI yang ia dirikan pun telah dan terus memunculkan kader-kader yang mengisi peran-peran strategis di berbagai posisi. Mulai dari dunia politik yang meliputi pemerintahan, legislatif, dan yudikatif, dunia pendidikan dan juga sektor ekonomi, hingga para aktivis dan pejuang LSM yang jujur dan tangguh. Lafran Pane merupakan putra tokoh dan budayawan Sutan Pangurabaan Pane. Ia merupakan adik dari dua sastrawan kondang; Sanusi Pane, sastrawan Angkatan Pujangga Baru yang sangat terkenal; dan Armijn Pane sastrawan yang menerjemahkan surat-surat RA Kartini dan sahabatnya di negeri Belanda Ny Abendanon, yang diberi judul “Habis Gelap Terbitlah Terang”. Jasa Lafran telah membekas bagi Indonesia.

Komitmen Keislaman dan Keindonesiaan

Keempat tokoh di atas, tentu sudah tidak diragukan lagi keberislamannya. Selain karena lahir dari ulama atau lingkungan religius, mereka telah membuktikan diri sebagai muslim yang memperjuangkan Islam semasa hidupnya. Jika Sultan Mahmud Riayat Syah dan Laksamana Malahayati berjuang dengan kerajaan atau kekuasaan sacara langsung, TGKH Muhammad Zainuddin Abdul Madjid dan Lafran Pane memilih jalan sunyi mendirikan organisasi sebagai alat untuk memperjuangkan Islam dan tanah airnya. Kedua cara ini sama-sama memiliki implikasi yang luar biasa bagi umat Islam, hingga kini. Mereka adalah orang-orang yang sangat berkomitmen kepada Islam. Nabi Muhammad saw bersabda, “al-diinu al-nashiihat; (agama adalah komitmen)”, sebagai penganut agama Islam, mereka telah menunjukkan komitmen tersebut. Tokoh-tokoh itu meyakini bahwa Islam merupakan way of life yang mencerahkan peradaban dunia. Namun, apakah mereka hanya berpikir tentang perjuangan Islam dan umatnya?

Pertanyaan ini tentu telah terjawab dengan dianugerahkannya gelar pahlawan nasional kepada tokoh-tokoh itu. Selain berjuang demi agama yang diyakininya, mereka berjuang untuk tanah air tercinta. Komitmen mereka terhadap negeri ini tidak diragukan lagi. Sultan Mahmud Riayat Syah dan Laksamana Malahayati berhadap-hadapan langsung memimpin perlawanan terhadap penjajah. Hal ini merupakan wujud pembelaan mereka terhadap tanah air yang ditinggalinya. Perjuangan mereka sebelum Indonesia merdeka menujukkan bahwa sudah ada keyakinan dan visi jauh ke depan terkait akan terbentuknya sebuah negara bernama Indonesia.

Sementara TGKH Muhammad Zainuddin Abdul Madjid, dengan mendirikan Nahdlatul Wathan (1953), yang dalam Bahasa Indonesia berarti “kebangkitan tanah air”, membuktikan bahwa ia membela negaranya. Begitu juga dengan Prof. Drs. H. Lafran Pane muda yang ikut dalam memperjuangkan kemerdekaan, menandakan bahwa dia cinta tanah airnya. Komitmen keindonesiaan Lafran semakin terlihat dengan berdirinya HMI pada 5 Februari 1947 yang memiliki dua tujuan dalam AD/ART HMI pertama: 1) mempertahankan Negara Republik Indonesia dan mempertinggi derajat rakyat Indonesia; 2) menegakkan dan mengembangkan ajaran agama Islam. Komitmen kebangsaan inilah yang membuat Panglima Besar Jenderal Sudirman dalam pidatonya di depan mahasiswa Yogyakarta pada peringatan Milad HMI pertama pada 1948 mengatakan bahwa HMI adalah harapan masyarakat Indonesia.

Dengan segala dinamikanya, HMI sampai saat ini tetap concern menyuarakan dan mengembangkan doktrin keislaman dan keindonesiaan kepada anggotanya, guna melahirkan kader umat dan kader bangsa. Banyak tokoh intelektual dari HMI yang berjuang keras dan berhasil membangun persenyawaan yang serasi mengenai hubungan antara Islam dan negara, sehingga Pancasila sebagai dasar ideologi Indonesia dapat diterima dengan tulus oleh umat Islam. Dalam konteks ini, HMI tentu saja bahu membahu dan bersinergi dengan ormas-ormas Islam lainnya.

Kita bisa menyebut beberapa tokoh yang lahir dari kawah candradimuka HMI, di antaranya, Nurcholish Madjid, Akbar Tanjung, Mahfud MD, Jusuf Kalla, Mohammad Nasih, Mintaredja, Ahmad Syafi’i Maarif, Mar’ie Muhammad, Jimly Asshiddiqie, Yusril Ihza Mahendra, M. Nuh, Hamdan Zoelva. M. Nasir, Dawam Raharjo, AM Fatwa, Muhadjir Effendy, Amien Rais, Pramono Anung, Gus Ipul, Yahya Cholil Staquf, Anies Baswedan, Ferry Mursyidan Baldan, dan segudang nama tokoh lainnya, yang bisa dicek komitmen keislaman dan kebangsaannya.

Semua penjelasan di atas semakin menguatkan pemahaman bahwa Islam bisa berjalan dinamis di dalam sebuah Negara, terutama sekali Indonesia; negara dengan kekayaan suku, agama, ras, dan sumber daya yang luar bisa. Indonesia yang memiliki dasar negara bernama Pancasila, sangat compatible dengan ajaran Islam yang merupakan rahmat bagi seluruh alam (rahmat li al-alamiin), bahkan diduga keras Pancasila merupakan simplifikasi pokok-pokok ajaran Islam yang disarikan oleh ulama-ulama Islam terdahulu. Hubungan keduanya menyangkut hubungan historis-filosofis yang tidak bisa dipisahkan. Pancasila Lahir dari keinginan umat Islam untuk berislam secara kaffah sekaligus dalam waktu yang bersamaan dapat menjalin hubungan baik dengan saudara sebangsa dan setanah air untuk mencapai kehidupan yang harmonis dalam bingkai nation-state, NKRI.

Menurut hemat penulis, saat ini ada dua kelompok besar yang membahayakan NKRI hubungannya dengan Islam dan Indonesia. Mereka terus berupaya menggoyang jalinan relasi antarkeduanya, mengancam sendi-sendi persatuan dan kesatuan. Pertama, kelompok yang mencoba menghilangkan agama, terutama Islam dari Indonesia, dengan cara membenturkan antara (umat) Islam dan Indonesia. Mereka menyebarkan hoax dengan seluas-luasnya bahwa Islam itu agama privat, tidak perlu dibawa kepada urusan publik; bahwa Islam itu radikal dan identik kepada kekerasan, dan lain sebagainya. Kelompok ini terindikasi sebagai neo-komunisme dan/atau kelompok berpaham sekuler ala Barat. Kedua, golongan yang ingin mengganti dasar negara Pancasila dengan ide khilafah yang tekstualis, tanpa berpikir konteks dan relevansi sosio-historis-kultural dari bangsa Indonesia.  Mereka ingin mendirikan “Negara Islam”, yang jelas-jelas ditolak oleh kelompok nasionalis dan dilepaskan dengan ikhlas dan cerdas oleh kaum Islamis pada awal kemerdekaan pada masa perumusan bentuk dan dasar negara 1945.

Penulis melihat bahwa kedua kelompok tersebut perlu diwaspadai, supaya jangan sampai diberikan jalan sedikitpun. Bangsa Indonesia harus menyadari bahwa meskipun umat Islam di Indonesia merupakan penduduk mayoritas, akan tetapi dengan penuh kesadaran dan tanggung jawab, mereka tidak memaksakan Indonesia menjadi negara Islam. Sebab, mereka menyakini bahwa dalam negara Pancasila, Islam tetap dapat diamalkan dengan penuh kegembiraan. Ini merupakan kekayaan tiada tara yang harus dijaga oleh generasi kita. Perlu kesadaran bersama bahwa sudah sepatutnya kita, terutama anak-anak muda harus meneladani ide, gagasan, dan tindakan para pahlawan, yang memiliki komitmen keagamaan dan kebangsaan secara bersamaan. Agama diperlukan dalam menyelenggarakan negara, sedangkan negara diperlukan untuk melindungi pemeluk agama menjalankan kepercayaan yang diyakininya. Karena itu, perlu dikampanyekan: “Islam Yes; NKRI Yes”. Wallahu a’lam bi al-shawaab.

*Mokhamad Abdul Aziz, Ketua Umum HMI Komisariat Dakwah Walisongo Semarang Periode 2013-2014, Ketua Umum PW GPII Jateng.

Juara I Lomba Menulis Opini HMI Korkom Walisongo Semarang. 
Kerjasama Publikasi dengan Harakatuna.com
Harakatuna
Harakatuna
Harakatuna.com merupakan media dakwah berbasis keislaman dan kebangsaan yang fokus pada penguatan pilar-pilar kebangsaan dan keislaman dengan ciri khas keindonesiaan. Transfer Donasi ke Rekening : BRI 033901002158309 a.n PT Harakatuna Bhakti Ummat

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru