31.4 C
Jakarta
Array

Rokok

Artikel Trending

Rokok
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Rokok

Oleh: A Yusrianto Elga*

“Merokoklah dengan penuh khusyuk tanpa harus merasa risih, kesal, apalagi benci pada perokok-perokok lain yang berbeda haluan rokoknya, yang tidak sama merek rokoknya,” kata seorang teman dalam sebuah obrolan di kedai kopi.

Merokok memang lebih dari sekedar sensasi. Ia bahkan bisa menjadi jalan hidup seseorang dalam menemukan kenikmatan hidupnya. Tapi, seolah sudah menjadi takdir yang tak bisa ditampik bahwa dalam dunia rokok, selalu muncul kelompok-kelompok yang fanatik. Dengan mudahnya mereka menghakimi yang lain.

“Hanya merek rokokku yang paling top, paling benar,” pekiknya dengan asap kebencian. Seolah mengingkari bahwa dalam hidup ini ada ribuan merek rokok yang sama-sama dapat dijadikan media menemukan kebahagiaan, mendapatkan ketenangan.

Cara pandang perokok yang sempit, tekstual dan penuh kebencian, tentu saja sangat berpengaruh terhadap kehidupan sosial perokok yang sangat beraneka ragam. Keimanan perokok salah satunya dapat dilihat dari sejauh mana ia bersikap ramah dan santun terhadap perokok yang lain, yang berbeda akidah rokoknya, yang tidak sama merek rokoknya.

Di sinilah kita harus memahami indahnya perbedaan. Sampai kapan pun kesukaan seseorang terhadap merek rokok tidaklah sama. Pasti berbeda. Dan perbedaan itu bukan untuk dipertentangkan, bukan untuk dibentur-benturkan. Bukan.Tapi perbedaan itu untuk dinikmati. Dihayati dengan sepenuh hati.

Dalam hal merokok, kita tidak boleh fanatik. Sebab fanatisme itu bertentangan dengan Hak-Hak Asasi Merokok (HAM). Fanatisme hanya akan menyebabkan kita tercerabut dari nilai-nilai ke-rokok-an univerasal. Perokok-perokok fanatik –yang hanya menganggap merek rokoknya sendiri yang paling baik dan menganggap merek rokok lain jelek –biasanya cenderung menghakimi. Menilai secara hitam putih.

Konon, Bung Karno tak pernah risih dan benci melihat beberapa kepala negara atau siapa saja yang berbeda merek rokoknya (apalagi “hanya” cara merokoknya). Dalam buku “Kesaksian tentang Bung Karno 1945-1967”, yang ditulis Mangil, disebutkan bahwa sehabis makan biasanya Bung Karno menghisap rokok merek Eksspress (Rokok 555).

Apakah Bung Karno menganggap perokok lain dengan merek yang tidak sama itu jelek, salah, sesat? Tentu saja tidak.

Dalam pertemuan-pertemuan diplomasi antar negara, misalnya, terlihat bagaimana Bung Karno dengan Perdana Menteri India, Jawaharhal Nehru, begitu akrabnya merokok meskipun mereknya tidak sama. Atau dengan Nikita  Krushche, Perdana Menteri Uni Soviet (Rusia) yang tentu saja merek dan cara merokoknya berbeda. Tidak seakidah.

Tapi mereka tetap bersama, terlihat santai, penuh canda di tengah realitas rokok yang berbeda. Tak ada gurat-gurat kebencian di balik wajah pemimpin-pemimpin kharismatik itu. Asap-asap rokok yang mereka isap seolah menyatu, mengisyaratkan kebersamaan, cinta dan persaudaraan.

*Penulis adalah editor dan penulis buku, tinggal di Yogyakarta

 

Harakatuna
Harakatuna
Harakatuna.com merupakan media dakwah berbasis keislaman dan kebangsaan yang fokus pada penguatan pilar-pilar kebangsaan dan keislaman dengan ciri khas keindonesiaan. Transfer Donasi ke Rekening : BRI 033901002158309 a.n PT Harakatuna Bhakti Ummat

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru