28.2 C
Jakarta
Array

Refleksi Antiterorisme dan Antiradikalisme Tragedi 11/9

Artikel Trending

Refleksi Antiterorisme dan Antiradikalisme Tragedi 11/9
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

 Refleksi Antiterorisme dan Antiradikalisme Tragedi 11/9

Oleh: Ribut Lupiyanto*

 16 tahun tahun silam tepatnya pada 11 September 2001 terjadi teror terbesar seduania atau dikenal dengan Tragedi 11/9. Empat pesawat dibajak dan dijatuhkan ke lokasi vital. Dua pesawat dihantamkan gedung kembar Twin Tower World Trade Center (WTC) dan satu pesawat lagi dijatuhkan di Markas Militer AS, Pentagon. Korban jiwa mencapai lebih dari 3.000 orang, termasuk 400 petugas yang tengah mengevakuasi korban, ikut kandas terbenam di lokasi kejadian.

Hari-hari ini naluri dan nurani kemanusiaan kita juga terkoyak. Pembantaian massal mengarah genosida dilakukan tentara dan polisi Myanmar terhadap penduduk muslim Rohingya.  Tindakan brutal tidak manusiawi ini mendapatkan kecaman dunia internasional.

Kekerasan atau tindakan radikal mengarah terorisme tidak bisa diterima nalar kemanusiaan, logika, dan hukum. Kasus-kasus yang menyertai tentu kompleks dan tidak bisa disikapi hanya pada wilayah hilir. Indonesia penting berempati dan bersikap tegas terhadap segala bentuk kekerasan di muka bumi.

Di sisi lain, kejadian-kejadian tersebut dapat direfleksikan terhadap kondisi dalam negeri agar terus menyupayakan lepas dari tindak radikalisme dan terorisme. Pemerintah dan pihak lain penting menyikapi dan mencari solusi setiap potensi radikalisme secara komprehensif dan sistematis mulai dari identifikasi hulu masalah dan menyentuh seluruh aspek.

Hulu Masalah

Kriminalitas adalah bentuk penyakit sosial kronis. Di sisi lain penindakan dengan penghakiman massal menjadi bentuk penyakit sosial lain yang berbahaya. Kartasaputra (2011) mengungkapkan penyakit sosial timbul karena berbagai penyimpangan terhadap norma masyarakat. Ditambahkan bahwa penyimpangan tersebut terjadi karena beberapa faktor.  Pertama karena tidak adanya figur yang bisa dijadikan teladan dalam memahami dan menerapkan norma-norma yang berlaku di masyarakat. Kedua, pengaruh lingkungan kehidupan sosial yang tidak baik. Ketiga adalah  proses sosialisasi yang negatif. Terakhir karena merasakan adanya ketidakadilan.

Fenomena penyakit sosial dapat mengarah pada frustasi sosial. Indonesia pada tahun 2017 ini diprediksi berpotensi dihadang masalah frustasi sosial. Beberapa faktor yang memengaruhi frustrasi sosial, antara lain faktor kemiskinan struktural, lonjakan pengangguran akibat sempitnya lapangan kerja, dan ketimpangan sistem pendidikan (Sasongko, 2016).

Penyakit dan frustasi sosial menjadi pemicu munculnya tindakan brutal, kasus-kasus kekerasan, dan penghakiman massal. Penghakiman massal atau main hakim sendiri merupakan tindakan yang melanggar hak asasi manusia (HAM). Undang-Undang no. 39 tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia pasal 4 dan 33 ayat (1) menjelaskan bahwa pelaku kriminal atau pelanggar hukum juga memiliki HAM. Dengan demikian, perbuatan main hakim sendiri adalah melanggar HAM.

Pelaku main hakim sendiri atau penghakiman massal juga terancam sejumlah pasal dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). Pasal tersebut antara lain, pasal 351 KUHP tentang Penganiayaan, pasal 170 KUHP tentang Kekerasan, dan pasal 406 KUHP tentang Perusakan. Ancamannya adalah pidana penjara paling lama lima tahun enam bulan. Jika korban tewas, maka pelaku diancam hukuman penjara sampai 12 tahun.

Data Sistem Nasional Pemantauan Kekerasan (SNPK) tahun 2014 menunjukkan  dampak dan sebaran peristiwa tidak peduli hukum. Kasus main hakim sendiri telah menewaskan 282 orang s, 1.032 mengalami cedera, dan 422 bangunan rusak.  Kejadian yang paling sering menjadi pemicu adalah pencurian atau penjambretan.

Tanggap Darurat

Langkah tanggap daurat dan peta jalan dalam mengantisipasi kekerasan agar tidak terulang mesti segera ditempuh. Beberapa pendekatan dan strategi penting diperhatikan.

Pertama adalah membudayakan laku nirkekerasan. Budaya ketimuran kita mengajarkan adanya musyawarah dan penghargaan atas rasa kemanusiaan. Laku nirkekerasan menjadi penciri budaya tersebut. Pendidikan sejak dini penting menguatkan budaya nirkekerasan. Pendekatan keagamaan mesti menjadi strategi fundamental bahwa agama melarang aksi kekerasan yang tidak manusiawi.

Kedua adalah menunjukkan keteladanan pemimpin. Perangai pemimpin di setiap level akan senantiasa diamati hingga diikuti secara tidak sadar oleh publik. Elit-elit yang gemar mempertontonkan kebencian, emosi kasar, hingga perilaku mengarah kekerasan penting mengurangi hingga menghindarinya. Pemimpin mesti menjadi teladan yang tegas, taat hukum, dan berjiwa sosial tinggi.

Ketiga adalah membuktikan keadilan pemerintah. Ketidakadilan yang dirasakan masyarakat menjadi faktor penting dalam memicu frustasi sosial hingga penghakiman massal. Pemerintah mesti membuktikan adanya ketegasan penegakan hukum serta minimalisasi ketimpangan sosial ekonomi. Alih-alih menyikapi kritik, pemerintah jangan sampai justru terjebak dengan frustasi diri. Balasan pembungkaman kebebasan menjadi alarm yang mesti dihindari.

Keempat adalah sosialisasi gerakan sadar hukum secara masif. Indonesia adalah negara hukum. Hukum sudah seharusnya menjadi panglima. Aparat hukum mesti menjadi pihak yang benar-benar terpercaya dan tidak justru menjadi bagian yang bermasalah. Gerakan sadar hukum mesti digencarkan. Tidak hanya sebatas sosialisasi regulasi, namun sistematika penindakan hukum mesti diberikan. Alur pelaporan mesti dipermudah melalui berbagai media berbasis IT.

Penegak hukum mesti memberikan jaminan sigap dan profesional dalam setiap penanganan pelaporan. Praktik-praktik di depan mata dan menjadi rahasia umum mesti tetap ditindak tanpa menunggu ledakan masalah atau laporan publik. Patroli keamanan mesti terus dilakukan aparat bagaimanapun kondisi suatu wilayah. Teknologi pemantau seperti CCTV dapat diperbanyak guna mengantisipasi minimnya SDM aparat.

Kelima adalah meminimalisasi pengaruh media-media yang menampilkan kekerasan. Media televisi, media sosial, dan lainnya yang memuat konten kekerasan mesti dilarang penayangannya. Secara tidak sadar, tampila itu dapat menjadi sumber ide atau contoh yang melatarbelakani kejadian kekerasan dan penghakiman massal.

Seluruh sektor dan institusi mesti bersinergi guna mengantisipasi dan meminimalisasi. Kondusifitas sosial menjadi penciri pencapaian tingkat keadilan, penegakan hukum, dan memicu peningkatan investasi.

*Deputi Direktur  C-PubliCA (Center for Public Capacity Acceleration)

Harakatuna
Harakatuna
Harakatuna.com merupakan media dakwah berbasis keislaman dan kebangsaan yang fokus pada penguatan pilar-pilar kebangsaan dan keislaman dengan ciri khas keindonesiaan. Transfer Donasi ke Rekening : BRI 033901002158309 a.n PT Harakatuna Bhakti Ummat

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru