27.8 C
Jakarta
Array

Menyalahkan Pancasila

Artikel Trending

Menyalahkan Pancasila
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Selain menganggap orang atau kelompok yang tidak sepaham dengan mereka sebagai kafir dan halal darahnya, kelompok radikal (ormas radikal) juga mempersoalkan ideologi Pancasila yang sudah final. Menyalahkan Pancasila dengan berbagai cara dilakukan kelompok radikal demi terwujudnya kepentingan dangkalnya, tanpa mau melihat aspek yang lebih luas, maqâsid al-shaî’ah dan apakah sesuatu itu termasuk wilayah ijtihadiyah atau bukan, misalnya. Lucunya lagi, laku atau agenda ormas ini selalu menentang pemerintahan yang sah.

Menyalahkan dengan cara membenturkan Pancasila dengan keislaman dan masalah yang terjadi di republik ini dan lain sebagainya. Intinya, Pancasila dituduh sebagai biang krisis yang terjadi di negeri ini. Adapun narasi-narasi yang sering digambar-gemborkan sebagai berikut:

Pertama, tidak konsisten. Kelompok radikal selalu mengulik sejarah yang sesuai dengan agendanya. Targetnya jelas, yakni mempengaruhi publik agar terlihat bahwa argumentasi yang mereka pegang paling kuat. Terkait hal ini, kelompok radikal menuduh bahwa Pancasila tidak konsisten.

Sejarah memang mengatakan Pancasila (butir-butirnya) mengalami perubahan. Sebagaimana diusulkan Bung Karno pada tanggal 1 Juni, yang menempatkan Ketuhanan pada butir kelima. Pada era selanjutnya Pancasila diubah menjadi Trisila dan sampai sila pertama“disunat” (begitu kata mereka) tujuh kata dam puncaknya Pancasila diperas menjadi satu, Gotong Royong. Inkonsistensi ini, dijadikan celah untuk menuduh dan melemahkan “kesaktian” Pancasila. Inkonsistensi ini, bagi mereka, menunjukkan betapa Pancasila, sebagai dasar negara, tidak cocok dan kurang tangguh.

Namun, bagi masyarakat yang melek akan sejarah dan wawasan keindonesiaan yang komprehensif, akan menganggap bahwa tuduhan kelompok radikal sesungguhnya hanya sebuah narasi yang dilebih-lebihkan saja. Sebab, perubahan Pancasila merupakan dinamika untuk Indonesia yang lebih baik. Jadi, tidak perlu dipersoalkan lagi! Yuk jadikan Pancasila milik bersama dan tidak usah sibuk menyalahkannya. Energi kita akan habis jika digunakan untuk menyoal sesuatu yang sudah final.

Kedua, sekuler/komunis. Sampai saat ini, masih ada yang menghembuskan bahwa Pancasila itu sekuler, bahkan komunis. Plesetan-plesetan Pancasila-pun digaungkan, bahwa sila pertama tidak Ketuhanan Yang Maha Esa, melainkan Keuangan Yang Maha Kuasa. Hal ini didasarkan pada realita Indonesia saat ini yang lebih condong pada kapitalisme yang mendewakan uang.

Bahwa Pancasila sema sekali tidak sekuler, bahkan Pancasila kompatibel dengan semua agama, termasuk Islam. Hal ini tercermin pada Muktamar NU ke-27 di Situbondo pada tahun 1984, yang salah satu hasilnya bahwa Nahdlatul Ulama (NU) menerima Pancasila sebagai dasar negara (Masykur Musa, 2014:287).

Ketiga, biang korupsi (tidak mampu mengatasi persoalan yang terjadi). Narkoba, kenakalan remaja, korupsi, ketidak-adilan dan segudang masalah lainnya telah mendera Indonesia. Penyelewengan uang negara secara besar-besaran dan melibatkan elite politik dan pejabat tinggi negara adalah fenomena yang tidak lagi memprihatinkan, namun sudah membahayakan kelangsungan negeri ini.  Semua kekacauan dan persoalan kebangsaan, menurut kelompok ini, merupakan ketidak-becusan Pancasila dalam konteks sebagai dasar dan pijakan bernegara. Hemat kata, Pancasila tidak komprehensif dan efektif untuk mengatasi persoalan. Sehingga, kelompok ini mengklaim bahwa kalau tidak syariah, ya, tidak ada perubahan.

Lagi-lagi, kelompok yang mengusung ide khilafah sebagai satu-satunya solusi terlihat memaksakan keadaan. Jika korupsi, pornografi, amoral, dan lain sebagainya semakin menjadi-jadi di negeri ini, maka persoalannya bukan semata-mata karena Pancasila. Fenomena krisis tersebut patut dikembalikan kepada kita sendiri: apakah sudah mengamalkan butir-butir Pancasila dalam kehidupan sehari-hari?

Meminjam istilah Damardjati, bahwa Pancasila belum lahir karena masih “batin”. Artinya, Pancasila belum aktual atau diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari. Dalam masyarakat, Pancasila masih sebatas konsep di dalam pikiran atau “batin”. Akibatnya, antara nilai-nilai ideal Pancasila dan kenyataan hidup berbangsa masih seperti jurang yang menganga. Sehingga solusinya bukan menggati Pancasila dengan ideologi lain. Melainkan dengan cara membumikan nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan beragama, bersosial, dan bernegara.

Keempat, dituduh berasal dari agama Buddha. Bahwa istilah dan ajaran Pancasila  berasal dari agama Buddha dengan sebutan “Pancaҫila”. Yang berarti lima kemoralan: (1) larangan membunuh, (2) larangan mencuri, (3) larangan berzina, (4) larangan menipu, dan (5) larangan minum miras (Media Umat, edisi 102/18 April 2013).

Kesimpulannya, kelompok yang getol menyalahkan Pancasila bukanlah bagian dari masyarakat Indonesia sejati. Sehingga patut diwaspadai. (NJ).

Harakatuna
Harakatuna
Harakatuna.com merupakan media dakwah berbasis keislaman dan kebangsaan yang fokus pada penguatan pilar-pilar kebangsaan dan keislaman dengan ciri khas keindonesiaan. Transfer Donasi ke Rekening : BRI 033901002158309 a.n PT Harakatuna Bhakti Ummat

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru