25.4 C
Jakarta
Array

Medsos sebagai Medan Dakwah di Era Millenial

Artikel Trending

Medsos sebagai Medan Dakwah di Era Millenial
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Barangkali kita tidak pernah membayangkan betapa ruang dakwah bisa dilakukan via media sosial yang tidak terbatas ruang dan waktu, selagi masih tersambung dengan internet, kita bisa posting materi apapun dan dalam keadaan apapun serta di manapun. Bahkan siapapun, bisa mendadak jadi “ustad” dan “da’i” dengan cara memposting materi keagamaan; entah hasil pembacaan sendiri atau sekedar kopas dari sumber lain. Jadi, hampir bisa dipastikan di era millenial yang salah satunya ditandai dengan munculnya aplikasi (media sosial), semua orang bisa menjadi “tokoh agama” dengan cara aktif menyebarkan kajian keislaman di media sosial, tanpa memerdulikan kualifikasi dan hierarki keilmuan.

Fenomena mendadak jadi ustad bukanlah sesuatu yang tidak menimbulkan masalah atau juga tidak menjadi tolok ukur keberhasilan perkaderan dalam Islam, melainkan fenomena tersebut dijadikan kesempatan oleh pihak tertentu untuk “membajak” nilai Islam yang ramah, toleran dan penuh kesejukan. Hemat kata, media sosial (medsos) dijadikan sebagai alat untuk menyebarkan kajian yang isinya menghujam dan menghantam pihak lawan dengan dalih Alquran dan Al-Hadis. Miris, memang!

Kira-kira berangkat dari fenomena sebagaimana dipaparkan pada paragraf-paragraf sebelumnya inilah, Nadirsyah Hosen atau Gus Nadir, terpanggil untuk ikut serta dakwah di medsos agar nilai-nilai Islam yang ramah, damai, menghargai perbedaan, dan penuh dengan hikmah yang dalam tersampaikan secara baik dan benar. Di saat yang sama, Gus Nadir juga hendak melakukan counter-hegemoni terhadap kelompok fundamentalis-konservatif, yang diterangarai oleh sebagian tokoh bahwa merekalah yang saat ini “menguasi” langit-langit medsos, yang jika dibirakan akan berpotensi besar memecah-belah umat karena pandangannya yang kaku dan sejenisnya.

Keinginan Gus Nadir turun gunung ke ranah medsos juga dipengaruhi oleh kondisi yang mencengangkan, yaitu medsos lebih digunakan untuk menghina dan mencaci-makai guru dan ulama (h.vi). Ini belum seberapa, hiruk-pikuk medsos seiring dengan memanasnya iklim politik, semakin tidak terkendalikan. Lagi-lagi, nilai Islam banyak disalahpahami. Menafsirkan ayat suci mengabaikan kaidah dan syarat-sayaratnya. Akibatnya jelas, yakni sangat subjektif, dan tidak jarang malah memperkosa ayat.

Dengan cara berdakwah di medsos, menyampaikan nilai-nilai Islam yang benar dan sesuai dengan kondisi kekinian dan kedisinian serta mendidik umat untuk terbiasa dengan perbedaan pendapat. Maka, buku yang berjudul “Tafsir Al-Qur’an di Medsos” karya Gus Nadir, yang mulanya merupakan kumpulan artikel beliau di media sosial kemudian dikumpulkan menjadi satu tema yang utuh ini menyajikan lima bagian penting;

Pertama, membahas rahasia menghayati Kitab Suci Alquran. Dalam bagian ini, Gus Nadir menjelaskan banyak hal terkait penghayatan terhadap Alquran, yang diprinci menjadi 12 sub-bab. Dalam bagian ini juga, Gus Nadir menghidangkan bagaimana seseorang memahami dan menghayati Alquran. Mengetahui dasar-dasar kajian tafsir merupakan sesuatu yang wajib bagi da’i ketika hendak mengkaji Alquran secara mendalam.

Kedua, tafsir ayat-ayat politik. Dalam kajian yang kedua, Gus Nadir hendak mendidik umat agar terbiasa dengan perpedaan pedapat. Dalam bahasa Imam Al-Ghazali; “Kita harus meyakini kebenaran pendapat yang kita anut sembari menghormati pendapat orang lain yang berbeda pendapat dengan kita.”

Materi tentang bagaimana Alquran mengatur hubungan orang Islam dengan orang kafir, makna ulil amri, kata awliya dan tema-tema politik lainnya dibahas dengan menggunakan berbagai pendapat atau perspektif mufasir, seperti Tafsir Al-Baidhawi, Tafsir Fi Dhilalil Qur’an, Tafsir Jalalain, Tanwir Al-Miqbas min Tafsir Ibn Abbas, Tafsir Al-Khazin, Tafsir Al-Biqa’i, Tafsir Muqatil, Tafsir Sayyid Tantawi,dan lainnya.

Ketiga, menebar benih damai bersama Alquran. Bagian ketiga ini bisa diduga keras merupakan respons kondisi kekinian umat Islam, dimana mereka banyak yang bersikap tidak adil terhadap mereka yang melecehkan Alquran, suka mem-bully dan mudah memberikan stempel munafik kepada sesama Muslim. Dalam penjelasan awal, Gus Nadir menyitir sebuah kisah tentang Buya Hamka yang diminta menshalati jenazah Bung Karno. Pada waktu itu, ada pihak yang tidak menghendaki/mencegah Buya Hamka untuk menshalati jenazah Presiden Indonesia pertama itu. Alasannya adalah, karena Bung Karno dituduh sebagai orang Munafik. Lantas, Buya Hamka memberikan sikap yang sangat bijak. “Rasulullah diberi tahu siapa yang munafik itu oleh Allah, lha, saya kan tidak terima wahyu dari Allah yang memberikan informasi bahwa apakah Bung Karno benar-benar munafik atau bukan, tegas penulis Tafsir Al-Azhar itu. Lantas, Buya tetap menshalati Bung Karno (h.151).

Keempat, Alquran bergelimang makna. Ada sebelas sub-tema pada bagian ini. Pada bagian ini, Gus Nadir lagi-lagi menekankan betapa perbedaan itu hal yang biasa, sekalipun itu sumbernya sama; yakni Alquran dan Hadis. Dan inilah yang menyebabkan munculnya imam madzhab dalam bidang hukum (fikih), bermacam-macam tafsir dan lainnya. Memang hal ini (perbedaan) sesuatu “yang disengaja” oleh Allah, kecuali dalam masalah yang qat’i.

Terakhir, benderang dalam cahaya Alquran. Berbeda dengan materi sebelumnya, tetapi masih dalam satu nafas, Gus Nadir pada bagian kelima lebih menukikkan pembahasannya pada materi yang menggugah umat untuk saling memperkokoh tali persaudaraan dalam bingkai Alquran. Dan mengajarkan kepada umat untuk tidak gampang menuduh ulama, sebagaimana yang dialami oleh Quraish Shihab. Penulis Tafsir Al-Misbah itu dituduh sebagai penganut syi’ah lantaran dalam tafsir Al-Misbah, beliau banyak mengutip M. Hussein Thaba’thaba’i (h. 230). Tuduhan semacam ini diluruskan oleh Gus Nadir.

Terakhir, buku Tafsir Alquran di Medsos ini wajib dibaca oleh seluruh kalangan Islam, terutama pada ustad-ustad atau da’i yang aktif di dunia maya agar sadar bagi yang selama ini telah masuk dalam arus Islam fundamentalis-radikalis sehingga berubah menjadi muslim yang inklusif dan moderat. Dan nilai-nilai Islam moderat tidak cukup digelorakan dalam mimbar khutbah, melainkan juga di jagat dunia maya atau medsos. Sebab, medsos merupakan medan dakwah sebenarnya di era millenial seperti saat sekarang ini.

Judul                : Tafsir Al-Qur’an di Medsos

Penulis             : Nadirsyah Hosen

Penerbit           : Bunyan (PT. Bentang Pustaka)

Terbit              : September 2017

Halaman          : 278

Peresensi: M. Najib, hobi Mengoleksi Buku-buku Islami, Setiap Hari Mengunjungi Harakatuna.com.

Harakatuna
Harakatuna
Harakatuna.com merupakan media dakwah berbasis keislaman dan kebangsaan yang fokus pada penguatan pilar-pilar kebangsaan dan keislaman dengan ciri khas keindonesiaan. Transfer Donasi ke Rekening : BRI 033901002158309 a.n PT Harakatuna Bhakti Ummat

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru