29.7 C
Jakarta
Array

Literasi, Perintah Tuhan Pertama Kali pada Muhammad

Artikel Trending

Literasi, Perintah Tuhan Pertama Kali pada Muhammad
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com. Semarang – Bertempat di ruang rapat Badan Kesatuan Bangsa dan Politik (Kebangpol) Provinsi Jawa Tengah, dosen STAINU Temanggung, Hamidulloh Ibda mengajak puluhan PNS Kesbangpol itu melek literasi media digital. Menurut dia, kitab Alquran adalah kitab literasi karena perintah Tuhan pertama kali kepada Nabi Muhammad adalah perintah membaca.

“Perintah Tuhan pertama kali tidak lah bekerja, nikah, salat, apalagi korupsi, tapi iqra’, bacalah, dan dengan kalam, ini jelas-jelas adalah perintah literasi, bukan menyuruh salat, makan, nikah apalagi korupsi,” kata Ibda yang juga pengurus Bidang Literasi Media Serikat Media Siber Indonesia (SMSI) Provinsi Jateng di hadapan puluhan peserta yang didominasi abdi negara (PNS) dalam kegiatan ‘Pendidikan dan Pelatihan Literasi Media dan Jurnalisme Umum’ dalam rangka menajamkan PPID di Badan Kesbangpol Provinsi Jateng yang digelar pada Rabu-Kamis, 6-7 Desember 2017.

Jadi, katanya, Alquran merupakan kitab literasi sebagai penyempurna kitab sebelumnya, yaitu Taurat, Zabur dan Injil. “Di Alquran, perintah membaca ada 89 kali dan menulis 303 kali. Maka sesuai pilar literasi yaitu baca, tulis dan arsip, puncak dari literasi adalah tulisan karena ia akan abadi,” ungkap penulis buku ‘Sing Pening NUlis Terus’ itu.

Kegiatan itu terlaksana selama dua hari, Rabu (7/12/2017) sampai Kamis (8/12/2017). Dalam training itu, untuk Rabu, 6 Desember 2017, pemateri Handoko Agung Saputra S.Sos Komisioner KIP Provinsi Jawa Tengah, Didit Suryo Timlo.net, Setyo Puji Bengawan Institute, dan Hamidulloh Ibda dosen STAINU Temanggung dan pengurus Bidang Literasi Serikat Media Siber Indonesia (SMSI) Jateng.

Sedangkan hari kedua, Kamis 7 Desember 2017 diisi Daryono jurnalis Tribun Solo dan Sekretaris AJI Solo, Hamidullah Ibda pebgurus SMSI Jateng, Muhammad Dimas Saputro Programmer UDINUS dan Aldian pegiat media Bengawan Institute.

Dijelaskan Ibda, tradisi literasi menjadi solusi atas kondisi SDM dan bisa mendorong akselerasi kualitas literat dan memberantas buta aksara, buta informasi dan buta media di negeri ini. Sebab, menurut dia, perkembangan zaman begitu pesat dan hanya orang yang menguasai media digital yang akan berkuasa.

“Tantangan kita, terutama abdi negera di Badan Kesbangpol asalah banjir informasi, serangan hate speech, hoax dan fake news. Ada sekitar 800 ribu situs penyebar hoax sampai akhir 2016. Lalu kita adalah jam’iyah medsosiyah, pengguna aktif gawai tapi masih nggak paham cara menyeleksi, mengakses dengan bijak dan mampu membedakan mana berita orisinil, dan mana berita palsu,” jelasnya.

Litesi media digital, menurut dia adalah bukan sekadar mengetahui jenis media daring, siber atau online dan membedakannya dengan medsos. “Namun mampu memetakan, mana media pers, blog dan mana website milik lembaga atau pemerintah. Sebab, tidak semua situs itu bisa kita konsumsi,” ujar dia.

Kalau sesuai regulasi, katanya, ya minimal media siber itu sudah dapat izin SK Kemenkum HAM, berbadan hukum, mendapat SIUP, TDP, ada surat domisili. “Lalu, mereka juga harus punya kantor, wartawan di lapangan, berita bukan copy paste. Juga harus punya susunan redaksi, kontak dan profil, jurnalisnya sudah lolos Uji Kompetensi Wartawan, dan terhimpun dalam organisasi pers seperti PWI, AJI, AWPI, IWO dan yang lain,” kata dia.

Selain itu, katanya, media siber yang laik konsumsi juga harus ramah, beritanya tidak hoax, fake dan tidak menjadi pabrik hate speech dan perusak isu SARA. “Minimal media digital yang kita konsumsi memenuhi prinsip dan menerapkan peran dan fungsi pers sendiri. Ya menginformasikan, edukasi, kontrol, hiburan dan menjadi jembatan antara pemerintah dan rakyat,” ujar dia.

Apa cukup itu?, kata dia, tentu tidak. “Media digital yang kita konsumsi juga harus bisa menerapkan 9 ayat atau prinsip bahkan 10 prinsip jurnalisme menurut Bill Kovach dan Tom Rosenstiel. “Sejak tahun 2001, lewat buku ‘The Elements of Journalism’, Bill Kovach dan Tom Rosenstiel mengajarkan kita untuk melakukan 9 ayat jurnalisme agar media dan berita itu benar-benar mencerahkan,” beber dia.

Demikian lah kira-kira unsur literasi media digital, katanya, tapi itu semua harus diimbangi dengan dua cara berpikir. “Pertama adalah cara berpikir wartawan. Bisa dilakukan dengan wawancara, klarifikasi atau tabayun. Wartawan bisa mendasarkan kebenaran hanya sebatas wawancara dan klarifikasi. Tapi apa cukup itu? Tentu harus dilengkapi yang kedua, yaitu cara berpikir ilmuwan. Jadi untuk mendapatkan kebenaran, harus ilmiah, logis, sistematis, metodologis, empiris dan juga minimal melalui tiga tahap filsafat ilmu, yaitu ontologi, epistemologi dan aksiologi,” beber dia.

Dalam implementasi literasi media, kata dia, minimal kita harus melakukan beberapa hal teknis. “Mulai dari pasang kuda-kuda, melawan berita hoax, fake, fitnah, menguasai berita, mengolah berita menjadi positif, arif dan aktif di medsos, berdakwah melalui medsos dan kembali pada Alquran/kitab suci lain sebagai kitab literasi,” beber dia.

Penulis buku Stop Pacaran Ayo Nikah ini berharap, ke depan literasi tidak hanya menjadi bahan diskusi melainkan semua hal bisa dijadikan wahana literasi, karena hakikat literasi adalah upaya untuk mendapatkan pengetahuan, membaca, menulis dan mengetahui sumber informasi dan ilmu.

Ia juga mengajak semua peserta minimal gerakan literasi media digital dimulai dari diri sendiri. “Literasi bukan segalanya, namun segalanya bisa berawal dari sana,” tegas dia. (mds)

 

Harakatuna
Harakatuna
Harakatuna.com merupakan media dakwah berbasis keislaman dan kebangsaan yang fokus pada penguatan pilar-pilar kebangsaan dan keislaman dengan ciri khas keindonesiaan. Transfer Donasi ke Rekening : BRI 033901002158309 a.n PT Harakatuna Bhakti Ummat

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru