29.7 C
Jakarta
Array

Kontekstualisasi Pemaknaan Khilafah

Artikel Trending

Kontekstualisasi Pemaknaan Khilafah
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Kontekstualisasi Pemaknaan Khilafah

Oleh: Muhammad Itsbatun Najih*

Gagasan dan sebuah paham tak bakal pernah padam. Ia akan bergerak dari satu kepala ke kepala lain. Pelarangan dan pembubaran atas simbol-simbol dan diktum keorganisasian/kepartaian tentangnya hanya bagian kecil meredam gerak paham. Jalan efektif melawan ideologi sehingga kita bakal menyebutkan nantinya usang atau tak relevan lagi ialah menawarkan tandingan paham/gagasan. Termasuk dalam hal ini paham Khilafah perspektif kelompok Hizbut Tahrir.

Buku ini mengunggah kelindan dalil-dalil khilafah yang sering diajukannya. Parameter gamblang kewajiban berkhilafah, sekali lagi menurut versi mereka, memang termaktub dalam sumber hukum Islam: Alquran maupun Hadis. Bahkan, artian seorang pemimpin (khalifah) terjabarkan merinci. Semisal: harus muslim, laki-laki, adil, mampu berijtihad, berpunya pengetahuan dan strategi pemerintahan, berketurunan suku Quraisy. Penulis buku, Muhammad Sofi Mubarok, lantas mencoba mendedah hadis-hadis yang mensyaratkan kepemimpinan itu dalam diskursus usul fikih dan filsafat hukum Islam.  Dengan artian, kita diajak mencerna sebuah teks agama secara holistik.

Kala Nabi Muhammad Saw pernah mensyaratkan seorang pemimpin (al-aimmah) laiknya dari kalangan suku Quraisy (min Quraisyin) perlu dikaji komprehensif. Bukan letertek-tekstual. Begitupun di hadis lain tentang tiadanya kemakmuran suatu negara apabila dipimpin seorang perempuan. Mubarok mewedarkan dua hadis tersebut harus dibaca sebagai ruang terbuka yang dimaknai berangkat dari sebab-akibat. Kajian historis (asbabul wurud) dan usul fikih setidaknya merupakan dua metode penting agar sebuah teks agama tidak dibaca harfiah. Hal ini dilakukan lantaran spirit agama sendiri menghendaki keluwesan; menaungi semua corak kemasyarakatan, rahmatan lil ‘alamin.

Pendulum buku ini menyertakan maqashid syar’iyyah (baca: kontekstualisasi) sebagai inti. Terbaca bahwa agama sebagai pembawa kemaslahatan dengan lebih membawa esensi dan spirit. Enggan menjebak dalam bentuk-bentuk formalistik. Diktum ini membawa konklusi etis peranan agama yang tidak akan mati. Melainkan senantiasa menjadi ruh dalam setiap aneka bentuk rigid dan teknis sebuah pemerintahan. Pembacaan leterlek dua hadis seperti di atas justru  berdampak serius berupa pertentangan dan paradoks terhadap teks agama yang lain: semisal hadis kesamaan derajat orang Arab dan non-Arab (‘ajam).

Spektrum Khilafah juga mengaitkan relasi agama dan negara. Sejauh mana keduanya berjalan. Mayoritas umat Islam telah sepakat bahwa posisi agama sebagai pondasi dari bangunan negara yang bentuknya bisa beraneka rupa. Secara historis, pergantian kepemimpinan dari Abu Bakar hingga Ali nyatanya tak berformat tunggal. Setelah itu, bentuk “Khilafah” bercorak dinasti atau kerajaan yang sedikit banyak melumerkan cerita-cerita muram berkait suksesi. Kala di Madinah, Nabi Muhammad Saw hanya mewariskan Piagam Madinah. Bukan bersebut Negara Islam. Maka dari itu, Islam tidak mengemukakan suatu pola baku teori negara atau sistem politik. Agama hanya menjelaskan prinsip-prinsip umum penyelenggaraan pemerintahan (hlm: 65).

Maka, Pancasila dan bentuk negara republik dalam rumusan baku sebagai konsensus bernegara dan berbangsa umat Islam di Indonesia sudah dapat terkatakan sebagai ejawantah dari Khilafah. Begitupun dengan bentuk monarki dan kerajaan; selama berprinsip pada nilai-nilai agama, berarti telah juga menerapkan Khilafah. Dalam Pancasila, ada sila ketuhanan yang menjadi sandaran utama untuk sila-sila berikutnya. Konsepsi keadilan, persatuan, kemanusiaan, musyawarah juga bersumber dari ajaran agama.

Mubarak secara mendetail mengemukakan Khilafah dalam teknis kebahasaan dan paparan ilmuwan muslim klasik macam Ibnu Taimiyah dan Al-Mawardi. Hampir sama dengan keduanya, Ibnu Khaldun menengarai Khilafah sebagai institusi kepemimpinan umum yang bertugas mengantarkan manusia kepada kemaslahatan dunia dan akhirat (hlm: 35). Dalam sudut pandang ini, bisa diambil kesimpulan bahwa bentuk apapun sebuah pemerintahan tetap dibenarkan menyesuaikan tipologi dan konsensus bersama suatu masyarakat di suatu wilayah asalkan tetap berpedoman nilai-nilai agama. Dengan kata lain, Khilafah Islamiyyah hanyalah berarti sebuah sistem pemerintahan yang islami. Pemerintahan islami adalah kala presiden atau raja menjalankan kekuasaannya tidak sewenang-wenang seraya bersikap adil-amanah.

Teramat sayang, Mubarak tidak melebarkan walau hanya sedikit saja pemaknaan “Khilafah”. Khilafah masih dipahamkan berkutat soal pemerintahan Islam, bukan meluaskannya menjadi pemerintahan yang islami. Kedua, “Khilafah” masih dipahamkan pula sekadar urusan pemerintahan, sistem politik (agama) Islam. Tidak meluaskannya lagi menjadi semacam tata laku seorang manusia mengelola bumi. Lantaran setiap manusia hakikatnya merupakan khalifah (pemimpin) untuk dirinya masing-masing yang akan dimintai pertanggungjawaban. Dengan demikian, dalam konteks darurat ekologis seperti sekarang, pemaknaan manusia sebagai “khalifah” sebagaimana tersitir pada Albaqarah ayat 30, ialah adanya keberpunyaan kesadaran ekologis. Bersama-sama menghijaukan dan melestarikan lingkungan. Wallahu a’lam

*Penulis adalah peserta Gebyar Lomba Resensi Buku Nasional Khilafah HTI

Data buku:

Judul: Kontroversi Dalil-dalil Khilafah

Penulis: Muhammad Sofi Mubarok

Penerbit: Pustaka Harakatuna

Cetakan: Juli 2017

Tebal: 206 halaman

ISBN: 978-602-61885-0-2

           

 

 

 

Harakatuna
Harakatuna
Harakatuna.com merupakan media dakwah berbasis keislaman dan kebangsaan yang fokus pada penguatan pilar-pilar kebangsaan dan keislaman dengan ciri khas keindonesiaan. Transfer Donasi ke Rekening : BRI 033901002158309 a.n PT Harakatuna Bhakti Ummat

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru