32.9 C
Jakarta
Array

Konstruk Moderat Dalam Floating Phenomenon

Artikel Trending

Konstruk Moderat Dalam Floating Phenomenon
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Konstruk Moderat Dalam Floating Phenomenon

Oleh: Ach. Tijani*

 Hidup ini tidak mudah, namun masih sangat mungkin untuk dilalui. Persoalan demi persolan datang silih berganti, bahkan di era digital seperti saat ini cenderung mengalami akselerasi yang sangat signifikan. Isu yang sangat lokal sekalipun bermetamorfosa menjadi isu global. Hal tersebut tentu sangat berkaitan dengan aksesibilitas informasi yang sangat terjangkau oleh siapapun, baik dalam rangka menyuarakan maupun mereka yang menyerapnya.

Konsekuensi dari melubernya isu yang selalu membawa persoalan meniscayakan kehadiran individu yang tangguh dan jernih dalam melihat inti dari segala persoalan. Pertimbangan logis-empiris, kesesuaian aturan berfikir dan kehadiran fakta tidak selamanya dijadikan satu-satunya acuan yang dapat diperjuangkan dan diklaim sebagai kebenaran tertinggi.

Gaya komunikasi awamcopy-paste link situs internet dalam pergaulan dunia maya bukan satu-satunya dalil yang menunjukkan kebenaran dari suatu isu dan persoalan tertentu.Akhir-akhir ini klaim kebenaran (truth claim)yang disuarakan oleh suatu kelompok dengan tujuan tertentu telah dilengkapi anasir data-data faktual sampai pada analisis logisnya. Penyajian isu yang nampak ilmiah tersebut justru seakan-akan benar walau sejatinya membawa kepalsuan.

Fakta dan narasi serta kaitannya dengan kebenaran seakan tidak selalu berjalan selaras. Kebenaran sebagai nilai sudah tidak lagi berdiri tegak tanpa intervensi. Hal tersebut bukan berarti esensi kebenaran itu benar-benar tidak ada lagi, tapi mungkin agak sulit untuk diungkap ke permukaan. Polemik keremangan nilai kebenaran dalam pusaran fakta dan narasi telah menyentuh titik paling kritis. Kemiripan penampakan keduanyatelah menghentikan sebagian upaya penjernihan. Jadilah realitas dunia ini harus diterima sebagai bagian  dari kehidupan.

Keremangan esensi kebenaran pada suatu fakta dan narasi digiring menjadi gejala yang cukup mengundang emosi. Hal tersebut ditandai dengan meluapnya emosi publik pada setiap problem tanpa memandang kebenarannya terlebih dahulu. Diskusi yang berkembang adalah kontroversi pro dan kontra, bahkan yang lebih naif kadang terkesan hanya berpijak pada suka dan benci. Maka klasifikasi kebenarannya cenderung berpijak pada kotak agama, ras dan suku. Segmen ini cukup menjadi bukti, bahwa nalar yang bergandeng dengan kebenaran tidak lebih disukai dibandingkan emosi yang hanya bergandeng dengan perasaan.

Kemandegan nalar tersebut terus didesak untuk membentuk konstruk kebenaran emosional. Bentuk aksi bela agama yang digelar berjilid-jilid di sejumlah daerah pada kasus penistaan agama oleh Ahok menjadi tolok ukur yang paling kentara dari terwujudnya kebenaran emosional. Hal ini terus berkelanjutan dengan tampilnya sejumlah tokoh agamawan yang terus berupaya memainkan teka teki emosi umat dengan sesekali menuduh munafik bagi orang yang tidak tergerak membela agama dan menjunjung tinggi bagi mereka yang turun beraksi.

Sejalan dengan konstruksi kebenaran emosional yang semakin mapan terdapat friksi politik dalam konteks kasus Ahok dan pilkada Jakarta. Nuansa politik tersebut sama sekali tidak terlalu dipandang sebagai unsur yang saling berkaitan dengan konstruk emosional tersebut, walaupun secara nyata narasi dukungan dan menolak terhadap paslon tertentu begitu cukup tajam.

Kasus Ahok dalam tulisan ini hanya sebagai salah satu contoh teatrikal fakta yang harus dimengerti validitas kebenaran dan arahnya. Namun sayangnya kehadiran kebenaran dari setiap fenomena selama ini terkendala dengan romantisme perasaan dibandingkan nalar, terlebih di era ini fakta itu sendiri sudah diintervensi. Sebagai hasilnya terbentuklah berbagai kumungkinan, yaitu terdapat fakta yang benar-benar terjadi, fakta yang dianggap terjadi dan fakta yang sengaja diwujudkan terjadi.

Segmentasi realitas sosial berikutnya, publik akan mengalami kebimbangan, bahkan telah menganggap tidak ada tempat untuk berpegang. Disinilah kebenaran tersebut benar-benar dianggap hilang, sehingga dengan mudahnya beberapa orang menyematkan suatu berita sebagai hoax walau tanpa mengerti tentang yang benar. Kehadiran kegelisahan ini tidak cukup hanya sampai pada sikap saling menuduh sebagai biang hoax, namun jauh di luar sana terdapat kelompok dan individu tertentu yang sudah berkalkulasi matang mengenai untung dan rugi secara politik maupun ekonomi.

Kelindan polemik kebenaran dibalik narasi dan fakta serta penggiringan emosi terus menjadi persoalan yang tidak boleh dipandang remeh.Dalam hal ini gerakan bercorak agama tidak selalu benar-benar agama, pembelaan atas nama wong cilik  tidak selamanya benar-benar sebagai ketulusan, bahkan kunjungan Raja Arab Saudi Salman bin Abdul Aziz tidak selalu bermakna representator dari Islam. Semua harus ditempatkan sebagai gejala yang mengambang (floating phenomenon). Lalu apa sebenarnya yang terjadi direpublik ini?.

***

Floating Phenomenon bukanlah segmentasi wacana yang benar-benar baru. Jauh di abad ke-16 Rene Descartes sudah mengajukan keraguan metodisnya dalam memahami realitas fakta dan wacana. Kontekstualisasinya pada sejumlah gelaran fenomena di negeri ini nampaknya tidak dapat diragukan untuk ditempatkan sebagai fenomena yang terus bergerak, bahkan cenderung sebagai gejala yang mengapung.

Rene Descartes dalam hal ini hanya mengajukan keraguan sebagai aktifitas nalar sebagai pusat yang dapat menentukan realitas di luar diri. Sedangkan wacana Floating Phenomenon yang menanamkan kesadaran bahwa ketidakpastian realitas di luar diri disebabkan karena pergerakannya yang bergerak secara terus menerus. Maka segala fenomena itu nampak selalu berubah dan tidak pasti. Pada segmen inilah segenap keraguan Rene Descartestertumpu pada realitas dan suatu kepastian hanya berada di dalam diri (nalar).

Antara Floating Phenomenon dan jargon Cogito Ergo Sum milik Rene Descartes sejatinya tidak benar-benar sama. Sebagai pandangan awal bermula dari pengajuan kritis Immanuel Kant yang mencoba mengharmoniskan dua kubu ekstrem antara Rasionalisme dan Emperisme.Menurut Kant, kepastian apa yang kita ketahui bersumber dari aposteriori dan  apriori. Aposteriori adalah segala pengetahuan yang bersumber dari materi-emperis sedangkan apriori adalah pengetahuan tanpa pembuktian secara material dan historical.

Floating Phenomenon tidak sama sekali hanya berupa keraguan nalar belaka, namun lebih dari itu sebagai upaya  partisipatif antara nalar dan indera dalam mengikuti berbagai dinamika fenomena. Dengan demikian, Floating Phenomenon sebagai sebuah metode merupakan segmentasi moderat dan dinamis dari pengajuan ide Immanuel Kant.

Terma mengapung(floating) yang disandarkan pada sejumlah fenomena dalam konteks republik ini bukan hal yang berlebihan. Mengapung dalam arti bahwa setiap fenomena itu bisa bergerak karena dirinya, bisa jadi karena gelombang di sekitarnya, tapi sangat mungkin juga digerakkan oleh penggerak di luar dari keduanya. Maka suatu perhatian tidak harus hanya tertuju pada fenomena yang terapung, tapi juga bisa jadi pada gelombangnya dan selebihnya jika mungkin juga memperhatikan pada faktor penggerak lainnya.

Memperhatikan fenomena terampung dan berbagai faktor lain yang juga bergerak bukan perkara mudah untuk memastikan apa yang sebenarnya terjadi. Keriuahan bela agama, kontestasi politik dan popularitas serta kepentingan ekonomi oleh beberapa kelompok  di negeri ini merupakan sejumlah inti dari setiap fenomena terapung yang saling memberikan gelombang. Dalam suatu kasus tertentu tidak menjamin persoalannya berada persis di dalam kasus tersebut. Namun secara umum kepentingan perebutan kekuasaan dirasa lebih dominan sebagai inti dari segala fenomena walau juga bukanlah satu-satunya.

Dominasi tersebut terlihat pada tensi politik yang terus menegang tanpa henti, mulai dari kontestasi politik 5 tahunan berlevel nasional hingga pada kontestasi politik daerah yang hampir berjalan simultan dan berkelanjutan sepanjang tahun. Sebagai dampaknya publikpun cukup sulit untuk berpindah pada kehidupannya masing-masing. Kendati demikian, para tokoh politikpun juga tidak pernah berhenti mengagendakan percobaan perebutan suara konstituen menuju kontestasi berikutnya. Bagi mereka para pemangku kekuasaan akan berupaya mempertahankan, sedangkan kubu yang lain akan berusaha menggilir kekuasaan.

Suka atau tidak suka, dunia yang sangat pribadipun juga telah didesak untuk menjadi bagian dari keangkuhan kaum elit. Lajur kanan-kiri, Islam-kafir, Arab-China dan sejumlah fakta dan wacananya menjadi segmentasi paling vulgar yang mudah dipertontonkan ke publik. Sebagai contoh,melubernya para pekerja China akhir-akhir ini disinyalir sebagai bentuk kedekatan pemerintah dengan komunis. Namun saat ini kenyataan telah berbalik, pemerintah seakan dikesankan sangat Islami ketika Presiden Jokowi Widodo dan Raja Salman bertemu. Bahkan merapatnya Saudi ke Indonesia juga disambut dengan euforia yang berlebihan dengan klaim bangkitnya Islam dan kalahnya kafir.

Euforia dan klaim berlebihan tidak sepenuhnya salah, namun lonjakan berlebihan tersebut cenderung sangat emotif yang hanya berupa perasaan suka dan tidak suka.Dalam konteks ini publik cenderung menjadikan fakta sebagai fenomena yang sangat baku dan statis. Bahwa Raja Salman seorang muslim dan pelayan dua kota suci muslim tidak dapat terbantahkan, begitu juga Indonesia sebagai negara dengan mayoritas muslim terbesar di dunia tidak dapat disalahkan. Namun mengklaim merapatnya keduanya sebagai kabangkitan Islam secara utuh belum dapat dipastikan.

Kacamata Floating Phenomenon sebagai sebuah sikap moderasi terhadap semua fenomena dirasa cukup bijak. Bahkan menurut hemat penulis, prespektif Floating Phenomenon dalam konteks ketegangan politik yang tiada henti di negeri ini adalah keniscayaan yang tidak dapat ditampik lagi. Sejalan dengan pandangan sederhana ini Hannah Arendt teoritikus politik asal Jerman menempatkan segala fakta sebagai segmentasi yang harus dicurigai sebagai bagian Nightmare Scenarios(skenario mimpi buruk).

Uraian lebih luas dari Nightmare Scenarios dapat dimaknai bahwa segala fakta bisa jadi adalah kenyataan yang fiktif. Pertemuan Raja Salman dan Presiden Jokowi merupakan fakta yang telah diagendakan, bukan sutau fakta tanpa cerita. Publik umum tidak pernah memiliki cerita yang utuh, kecuali yang ditunjukkan dan yang lain tentu ditutupi. Dalam hal ini tentu peran media menjadi sangat penting sebagai penyalur fakta di tingkat elit menuju ruang publik dan awam. Ruang hampa antara elit dan awam diisi oleh media yang tentu juga menjadi alat para elit. Sekali lagi dalam hal ini, kebenaran semakin remang kecuali narasi yang disampaikan oleh media itu sendiri.

Publik akan berhadapan dengan fakta yang telah dinarasikan, sehingga yang sampai pada nalar publik adalah antara fakta dan isu, bahkan mungkin murni isu. Disinilah fenomena itu bener-benar mengapung, serta bukan suatu bagian kepastian yang statis. Sayangnya pertautan mata rantai dari fakta ke media menuju mata dan telinga publik tidak banyak dipahami dengan baik oleh publik, sehingga kelompok masyarakat pasif ini menjadi kelompok masyarakat yang tidak hanya kehilangan realita historisnya, akan tetapi juga telah kehilangan nalar kritisnya.

Kecurigaan Hannah Arendt melalui pandangan nightmare scenarios yang diandaikannya mempunyai konsekuensi pada efek berikutnya berupa pemikiran yang rusak atau bisa jadi sampai pada pemikiran yang merusak (Destructive Thinking). Hal tersebut didasarkan pada fenomena yang sudah tidak lagi kelihatan esensinya atau dalam hal ini pandangan publik masuk di ruang blurred reality.  Dalam kondisi yang remang dan gelap kecurigaan Hannah Arendt mengenai lahirnya destructive thinking sangat mungkin terjadi.

Dalam kenyataannya publik terus didesak pada pilihan-pilihan yang sengaja diajukan oleh para elit demi kepentingan politiknya. Memilih berselancar di labirin pilihan narasi, isu dan fakta dalam ruang blurred reality yang merupakan dampak nightmare scenarios atau memilih diam menahan diri, keduanya adalah alaternatif yang sejatinya memang disediakan oleh para elit. Jadi memilih salah satu diantara keduanya, sama saja membiarkan diri terperangakap di perangkap yang memang sengaja disediakan oleh para elit. Dengan demikian, semuanya tidak pernah lepas dari bidikan kepentingan politik dan perebutan kekuasaan.

Pilihan pertama adalah tempat bagi kelompok masyarakat yang terjerembab pada keberpihakan kubu politik tertentu. Segala aksi, pemikiran dan emosi benar-benar telah dikuasai oleh kepentingan elit. Secara pragmatis jangka pendek kelompok ini akan menikmati romantisme dan euforia. Sesekali tangan-tangan penguasa akan datang mengelus-ngelus kepala mereka dengan seakan-akan menitipkan rasa simpati, bahkan tidak jarang kelompok ini mendapatkan acara seremonial curahan romantisme para penguasa.  Calon gubernur turun di derasnya banjir, menyodorkan sejumlah bantuan kemudian dilanjutkan dengan narasi-narasi kesedihan adalah contoh dari romantisme tanpa cinta.

Sedangkan pilihan kedua adalah tempat masyarakat di ruang kehampaan. Kelompok ini bukanlah kelompok yang benar-benar selamat dari jeratan kepentingan para penguasa. Ruang hampa tanpa kecondongan ini memungkinkan lahirnya berbagai imajinasi, atau setidaknya ada dua kemungkinan. Imajinasi pertama adalah negative imagination, kelompok ini akan terjerembab pada civil war on socmedperang di media sosial dengan seakan-akan menampilkan dirinya yang moderat, namun masih menyerang pihak-pihak lain. Kemudian yang kedua adalah positive imagination, imaginasi ini mangandaikan pembentukan kesadaran diri terhadap realitas.

Pilihan kedua dengan negative imagination akan cenderung terlibat di pertikaian, sedangkan positive imagination adalah pilihan moderasi yang cukup edukatif. Untuk mengarahkan pilihan kedua dan menggiringnya pada positive imaginationmembutuhkan kehadiran pemahaman floating phenomenon.Kehadiran pandangan floating phenomenon dan pilihan moderat menurut hemat penulis merupakan dua hal yang saling melengkapi agar publik ini tidak selalu terjerembab di agenda politik dan perebutan kekuasaan.

***

Secara singkat perkawinan pilihan sikap moderatdan pandangan floating phenomenon dapat diterjemahkan ke dalam beberapa hal sebagai berikut:

Pertama, sikap moderat dalam pandangan floating phenomenon adalah sebuah sikap yang harus diikuti dengan cara dialog secara terus menerus terhadap diri kita sendiri. Dalam hal ini semua fenomena yang ditangkap di luar diri dengan berbagai faktor yang berkaitan dengan fenomena tersebut harus diletakkan sebagai instrumen yang harus didialogkan dengan diri.

Kedua, sikap moderat itu juga harus diikuti dengan cara meletakkan seluruh fenomena itu sebagai media penyampai pemahaman bagi diri terhadap lingkungan dan orang-orang terdekat di sekitar kita. Dengan demikian, segala fenomena yang tampak di kejauhan tidak boleh menggiring kita melupakan status diri kita di lingkungan kita berada.

Ketiga, sikap moderat dalam konteks floating phenomenon adalah sebuah sikap yang tidak hanya sekadar menunjukkan apa yang salah, namun lebih penting dari itu adalah menyuarakan yang benar. Maka dalam hal ini, sikap mengolok-ngolok dengan menunjukkan hal yang salah, kelemahan dan kekurangan pihak-pihak lain bukan dari tujuan dari sikap moderat itu sendiri.

Sebagai penutup, bergandenganya sikap moderat dan floating phenomenon sebagai sebuah metode dalam memahami fenomena adalah solusi yang konstruktif yang dapat menghubungkan kepentingan publik dan elit secara berimbang. Dengan tatapan yang masih optimis negeri ini tentu masih mempunyai masa depan yang cemerlang dengan sikap moderat dan dialektika metoodis tersebut.

*Penulis adalah dosen IAIN Pontianak, Kalimantan Barat

 

Harakatuna
Harakatuna
Harakatuna.com merupakan media dakwah berbasis keislaman dan kebangsaan yang fokus pada penguatan pilar-pilar kebangsaan dan keislaman dengan ciri khas keindonesiaan. Transfer Donasi ke Rekening : BRI 033901002158309 a.n PT Harakatuna Bhakti Ummat

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru