30.1 C
Jakarta
Array

Islam Tuhan Islam Manusia

Artikel Trending

Islam Tuhan Islam Manusia
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Judul Buku         : Islam Tuhan Islam Manusia

Penulis                : Haidar Bagir

Penerbit              : Mizan

Tebal Buku         : 146 hlmn

Cetakan I           : Maret 2017

ISBN   : 978-602-441-016-2

Manusia abad mutakhir sering lupa. Jika sudah berTuhan, lupa bahwa ia juga seorang manusia yang harus hidup harmoni dengan sesama dan alam semesta. Juga sebaliknya, ketika sudah asyik dengan alam materi manusia lupa bahwanya dirinya adalah seorang hamba yang harus mengabdi untuk ber-Tuhan. Selang sengakarut antara keduanya membuat manusia kehilangan keseimbangan berfikir. Akibatnya tidak seimbang pula dalam berkata, mengambil keputusan, bergaul, hingga bertindak. Ia pun sering gagal dalam melakukan serangkaian tafsir ayat suci dan hadis nabi hingga mampu mencapai kebenaran hakiki, absolut, seperti yang Tuhan inginkan.

Setidaknya fenomena itu memberikan gambaran kepada kita  mengapa begitu banyak kitab tafsir yang beredar. Kita tidak perlu saling menghakimi kitab tafsir mana yang paling benar. Kewajiban manusia adalah terus berijtihad walau sering terbentur limitasi pengetahuan, berhadapan banyak bias, paradoks, negasi, dan kohesi. Tuhan menyuruh kita terus berjalan menemukan aliran, arus, dan gelombang baru. Hijrah: tanpa berhenti.

Haidar Bagir dalam bukunya Islam Tuhan Islam Manusia (2017) mengingatan bahwa kita hidup di “Dunia Kita yang Sedang Meluruh”. Krisis yang dihadapi oleh umat manusia sekarang, yang menyebabkan lahirnya kerinduan kembali kepada semacam spiritualisme. Bukan hanya dunia yang sedang meluruh tapi juga kita berada di suatu zaman penuh kekacauan akibat dari perkembangan teknologi komunikasi massa yang mulai terasa bergerak di luar kendali. Di satu sisi, perkembang­an ini sangat membantu dalam peningkatan kemampuan berkomunikasi umat manusia; tapi di sisi lain, membuka kotak pandora yang memungkinkan orang memalsukan berbagai hal.

Baca juga: Membangun Tatanan yang Islami

Teknologi sering membuat orang berfikir pragmatis. Ingin mencapai keridhaan Tuhan dan menggapai surga dengan cara instan. Hal inilah yang nantinya menjadi akar masalah lahirnya gerakan-gerakan radikal. Termasuk suatu paham divisif intra-Islam yang biasa disebut sebagai takfirisme, yaitu suatu paham atau gerakan radikal yang berakar pada ajaran untuk melabeli kelompok yang tidak sejalan dengan kelompoknya sendiri sebagai kafir.

Padahal jika kita perlu meninjau kembali definisi tentang “kekafiran” menurut ajaran al-Qur’an, Sunnah, dan pendapat para ulama. Pandangan umum yang selama ini berkembang otomatis menempatkan nonmuslim sebagai atau dalam kategori kafir. Haidar mencoba memberikan pandangan baru bahwa nonmuslim tak serta-merta kafir. Bahwa Non Muslim yang belum tegak atas mereka hujjahatau di dalam istilah agamanya disebut sebagai qiyam al-hujjah—tidak dapat disebut sebagai kafir, meskipun mereka tidak memeluk Islam. Ada syarat syarat khusus, selain qiyam al-hujjah, yakni tindakan-tindakan untuk memerangi atau menindas umat Islam bahkan umat agama lain yang memungkinkan mereka dilabeli sebagai kafir dan diperlakukan dengan aturan-aturan yang mengatur orang-orang kafir.

Mengatasi berbagai perbedaan yang ada, Haidar menawarkan prinsip “persatuan umat Islam”. Ia berpendapat bahwa mazhab boleh berbeda, bahkan intra mazhab juga terdapat variasi-variasi yang terkadang cukup kontras. Tapi, di atas semuanya itu, ada prinsip-prinsip dasar, prinsip-prinsip umum yang semua mazhab dan kelompok dalam Islam berbagi. Itulah prinsip-prinsip utama (ushul) agama. Sehingga dalam kekayaan variasi terkait dengan cabang-cabang (furu’) agama itu, dan berbekal persamaan prinsip-prinsip utama itu, kaum Muslim dari semua kelompok dapat membangun persatuan yang menyebabkan sebagai satu umat mereka tetap bisa berkiprah dan memberikan kontribusi kepada kemanusiaan secara efektif. Itulah persatuan dalam kebhinekaan.

Baca juga: Memahami Hakikat Perbedaan

Dalam konteks ini, tak pelak kita harus menyoroti perbedaan di antara dua mazhab utama di dalam Islam, yakni Mazhab Sunni dan Mazhab Syiah. Apalagi melihat kenyataan bahwa dalam dekade terakhir kedua mazhab telah melahirkan konflik yang amat memprihatinkan. Konflik-konflik yang pada awalnya sama sekali tidak menyangkut soal-soal keagamaan ini, mendadak menjadi konflik keagamaan yang sangat tajam dan tidak jarang berdarah-darah. Terkait ini Haidar menampilkan wawancara tentang situasi mutakhir interaksi dan konflik di antara kedua mazhab ini, dan juga tawaran tentang sikap terbaik di dalam melihat dan mengatasi konflik di antara dua mazhab utama dalam Islam ini.

Di akhir buku kita akan diajak merenungkan tentang “Islam dan Budaya Lokal” sebagai basis pengembangan peradaban. Selama ini kita sering gegabah memberikan label “musrik/syirik” saat melihat budaya sebagai warisan masa lampau. Padahal jika dianalisis lebih teliti, khususnya dengan mengambil kacamata ‘irfan, akan menunjukkan bahwa banyak akar pandangan-pandangan agama-agama sebelum Islam, termasuk agama-agama asli Nusantara, sesungguhnya memiliki banyak kesamaan dengan ajaran agama Islam dari sudut pandang ‘irfan ini. Hal ini membuka kemungkinan bagi dialog yang produktif antara Islam dan agama serta budaya lokal.

Kita berharap padangan orang terhadap Islam di masa depan berada pada kesadaran akan prinsip cinta yang dominan di dalam ajaran Islam yang bukan hanya berlangsung di masa-masa damai, bahkan dalam kondisi perang, prinsip cinta Islam tetap harus dikedepankan. Dengan kata lain, manusia tidak pernah bisa bicara tentang agama kecuali dalam konteks manusia. Tak ada manusia yang bisa mengetahui dengan sepenuhnya ajaran agama sebagaimana dia ada dalam khazanah ketuhanan. Yang dapat diketahui manusia tidak lain dan tidak bukan adalah tafsir atas ajaran agama yang ada di dalam khazanah ketuhanan itu.

Agama diturunkan oleh Tuhan untuk manusia. Artinya adalah suatu kesalahan jika kita mengembangkan pemahaman atas agama yang dilepaskan dari kebutuhan manusia. Agama Tuhan sesungguhnya pada saat yang sama adalah agama manusia. Bahkan sesungguhnya, kecuali kenyataan bahwa agama dipercayai sebagai bersumber dari Tuhan. Agama sepenuhnya adalah agama manusia. Karena itu, sudah sewajarnya agama ditafsirkan sejalan dengan bukan saja kebutuhan manusia, tapi juga perkembangan manusia dari zaman ke zaman. Karena tanpa itu semua, agama justru akan kehilangan relevansinya, dan tak lagi memiliki dampak bagi kehidupan umat manusia.

*Dwi Supriyadi, Santri Tadarus Buku di Bilik Literasi Solo.

Harakatuna
Harakatuna
Harakatuna.com merupakan media dakwah berbasis keislaman dan kebangsaan yang fokus pada penguatan pilar-pilar kebangsaan dan keislaman dengan ciri khas keindonesiaan. Transfer Donasi ke Rekening : BRI 033901002158309 a.n PT Harakatuna Bhakti Ummat

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru