27.3 C
Jakarta
Array

Islam Sontoloyo yang Masih Relevan

Artikel Trending

Islam Sontoloyo yang Masih Relevan
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

 

Tokoh revolusi bangsa Indonesia, Ir. Soekarno kali ini tampil dengan pembahasan yang sedikit berbeda dan tidak jamak dibahas di tengah masyarakat kita. Tokoh yang kompleks, cerdas, dan pintar ini telah memberi sumbangan besar terhadap peradaban Indonesia, pemikirannya tentang kebangsaan, nasionalisme, seni, filsafat hingga agama tidak ada habis-habisnya menginspirasi anak bangsa. Dalam buku Catatan Seorang Demonstran, Soe Hok Gie menarasikan Soekarno sebagai perpanjangan tangan dari raja-raja Jawa yang memiliki tiga keistimewaan. Pertama, keistimewaan dibidang politik, Soekarno mendapat gelar Kawula Ing Tanah Jawi.

Kedua, keistimewaan dibidang militer, Soekarno merupakan konseptor sekaligus aktor dalam mengusir bandit-bandit klonial dari bumi Nusantara, ia begitu pantas mendapat gelar Senapati ing Ngalanga. Ketiga, keistimeawaan agama, agama menjadi paling fundamen dalam kehidupan Soekarno. Pemikiran keagamaan Soekarno progresif dan melampaui zamannya, maka tak jarang jika dalam diskursus keagamaan Soekarno sering mendapat lawan debat yang juga kritis. Tapi apa yang disampaikan Soekarno tentang agama Islam benar adanya, maka ia juga disebut Syekh Sahidin Ngabdulrachmad.

Pada gelar terakhir ini, Soekarno menjadi bapak negara yang benar-benar kompleks. Ia tidak hanya nasionalis, sosialis, filsuf dan lelaki yang suka memincut perhatian wanita. Tapi sumbangan pemikiran keaagamaannya telah memberi ruang pembaharuan dalam pandangan masyarakat Islam pada waktu itu yang masih konservatif dan kolot. Pandangan dan pemikiran Soekarno mengenai pembaharuan agama ini yang menghantar dia pada polemik berkepanjangan di tahun 1934-1940 dengan pemikir yang memang agamis, M. Natsir. Perdebatan ini bisa dikatan terlama dalam polemik pemikiran di Indonesia.

Perjuangan pemikiran Soekarno dalam keagamaan ini dipoles dengan bahasa sentilan, yaitu Islam Sontoloyo. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kata “sontoloyo” diartikan sebagai: konyol, tidak beres, bodoh, dan dipakai sebagai kata makian (umpatan). Tetapi, dalam ungkapan istilah Jawa, kata sontoloyo artinya penggembala bebek. Dalam ungkapan guyonan bernada sarkasme “angon bebek songo, ilang limo” Sontoloyo.

Baca juga: Medsos sebagai Medan Dakwah di Era Millenial

Kemudian ungkapan “sontoloyo” itu dipopulerkan oleh Soekarno, melalui artikel yang ditulisnya di majalah Panji Islam (1940), berjudul “Islam Sontoloyo” Dalam tulisannya itu, secara tajam Soekarno mengkritik para tokoh agamis yang dinilainya terlalu literer, fikih oriented, dalam berfikir dan dalam praktik keagamaan.

Masyarakat Islam terlalu menganggap fikih itu satu-satunya tiang keagamaan. Kita lupa, atau kita tidak mau tau, bahwa tiang keagamaan ialah terutama sekali terletak di dalam ketundukan kita punya jiwa kepada Allah. Kita lupa bahwa fikih itu, walaupun sudah kita sering semurni-murninya, belum mencukupi semua kehendak agama Islam. Maka benarlah perkataan Halide Edib Hanoum, bahwa Islam di zaman akhir-akhir ini “bukan lagi pemimpin hidup, tetapi agama pokrok-bambu”. Janganlah kita kira diri kita sudah Mukmin, tetapi hendaklah kita insaf, bahwa banyak dikalangan kita yang Islamnya masih Islam Sontoloyo! (hal: 8).

Tajam, sarkas, dan menukik memang kritik Soekarno terhadap kelompok agamis, termasuk M. Natsir, Mohamad Roem, dan Hamka. Karena memang demikianlah situasi riil pada saat itu, seakan-akan ada gap antara orientasi keagamaan dan spirit nasionalisme. Soekarno hendak mau menorobos gap itu dengan pembaharuan-pembaharuan Islam yang progresif, maju dan tidak stagnan dalam kungkungan literer (teks). Juga dapat mengimbangi peradaban dunia dan pembangunan negara yang adil dan sejahtera.

Rakyat yang tidak mampu melaksanakan cita-cita Islam dengan kehebatannya perjuangan sendiri di dalam modern demokrasi itu, rakyat yang tidak mampu menbanjiri badan perwakilannya dengan utusan-utusan Islam, rakyat demikian itu, belumlah boleh menerima nama “rakyat Islam” yang sejati. Rakyat yang demikian itu memberi sendiri bukti, bahwa Islamnya hanyalah Islam kulit belaka, keagamaannya hanyalah keagamaan sana sini belaka (hal: 236).

Maka, kita perlu memikirkan kembali tentang Islam, kita punya pengertian tentang Islam, kita kembali menyelidiki apakah sudah benar semua keyakinan paham kita tentang Islam, atau apakah ada paham-paham yang perlu dikoreksi. Bahwa selalu ada perubahan di dalam pengertian-pengertian tentang agama itu, bahwa adakalanya paham tua diganti oleh pengertian yang lebih baru—bahwa pengertian yang salah, dikoreksi oleh pengertian yang lebih benar (hal: 81).

Setidaknya dalam buku Islam Sontoloyo, sehimpun artikel-artikel Soekarno yang terbit di Panji Islam dan surat-surat dari Endah ini, ada lima karakter Islam Sontoloyo yang menjadi kuda pacu Soekarno sebagi kritik sekaligus otokritik terhdap masyarakat Islam. Pertama, Mudah Mengklaim Kafir. Kita begitu akrab sekali dengan perkataan kafir, mencap segala barang yang baru dengan cap kafir. Pengetahuan Barat kafir, bergaul dengan bangsa yang bukan bangsa Islam pun kafir!

baca juga: “Budaya Kafir” Dalam Islam

Kedua, Taklid. Taklid bermakna mengikuti pendapat orang lain tanpa mengetahui sumber atau alasannya. Jadi hanya sekedar ikut-ikutan saja. Ketiga, Fikih. Fikih adalah salah satu bidang ilmu dalam Islam yang dipahami secara tekstual sebagai hukum yang rigid dan tidak bisa berubah, sehingga pemahaman masyarakat Islam terhadap laku hidupnya menjadi fikih oriented.

Keempat, Tidak Melek Sejarah. Kita punya ulama dan kiai tapi tak ada sedikitpun yang mau menilik kepada sejarahnya. Mereka punya minat hanya tertuju pada agama, terutama pada bagian fikih. Tapi pengetahuan tentang sejarah umumnya nihil. Padahal sejarah adalah padang penyelidikan yang penting. Kelima, Hadis lemah (dhaif). bahwa kemunduran Islam, kekunoan Islam, kemesuman Islam, ketakhayulan masyarakat Islam banyaklah karena hadis-hadis lemah itu yang sering lebih laku daripada ayat-ayat Al-Quran.

Dalam konteks sekarang, Islam Sontoloyo masih sangat relevan untuk direnungkan dan masih sangat pas sebagai pisau kritik atas dinamika berislamnya kita yang masih gampangnya mengkafirkan antara sesama, mengolok-olok, mengkerdilkan satu dengan yang lainnya, merasa bahwa Islam saya adalah Islam paling benar. Sebenarnya Anda yang Sontoloyo, Pak!

Judul               : Islam Sontoloyo 

Penulis            : Ir. Soekarno

Cetakan           : Oktober, 2017

Penerbit           : Basabasi

Tebal               : 284 halaman

ISBN               : 978-602-6651-48-8

*Anwar Noeris, adalah Mahasiswa Sejarah dan Kebudayaan Islam UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

Harakatuna
Harakatuna
Harakatuna.com merupakan media dakwah berbasis keislaman dan kebangsaan yang fokus pada penguatan pilar-pilar kebangsaan dan keislaman dengan ciri khas keindonesiaan. Transfer Donasi ke Rekening : BRI 033901002158309 a.n PT Harakatuna Bhakti Ummat

Mengenal Harakatuna

Artikel Sebelumnya
Artikel Selanjutnya

Artikel Terkait

Artikel Terbaru