29.7 C
Jakarta
Array

Islam Radikal dan Penyempitan Paham atas Teks Suci

Artikel Trending

Islam Radikal dan Penyempitan Paham atas Teks Suci
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Islam Radikal dan Penyempitan Paham atas Teks Suci

Oleh: Junaidi Khab*

Isu konflik kebangsaan di Indonesia akhir-akhir ini sering lebih mengacu pada isu Suku Agama Ras dan Antargolongan (SARA), khususnya agama Islam yang menjadi sorotan dan memiliki banyak persoalan. Kita perhatikan kasus yang menimpa gubernur DKI Jakarta – Basuki Tjahaya Purnama (Ahok) hingga pada isu keagamaan lainnya. Hal itu menjadi cermin kedangkalan masayrakat dalam beragama selain memang bangsa kita dilanda krisis kepercayaan akibat korupsi dan pemerintah yang dipandang kurang adil. Bahkan, agama menjadi tunggangan politik dan kepentingan terselubung untuk menarik massa bergerak di tempat umum.

Sebenarnya, isu agama dijadikan sebagai alat politik merupakan ulasan klise, namun perlu kita tegaskan kembali bahwa agama tidak seharusnya dijadikan sebagai alasan lain untuk merusak tatanan kebangsaan. Kasus yang menyeret Ahok itu merupakan segelintir dari isu agama yang mencuat ke permukaan selain isu-isu lain yang berceceran – seperti aksi-aksi brutal bom bunuh diri dan pendirian negara Islam oleh kalangan Islam radikal.

Padahal, seharusnya agama menjadi garda terdepan dalam membenahi struktur dan moral masyarakat dalam berbangsa dan bernegara. Namun, oleh pihak tertentu agama dijadikan sebagai bahan tunggangan politik dan alat kekuasaan. Agama Islam yang didengungkan sebagai rahmat bagi seluruh alam seakan pupus oleh ulah penganutnya. Ini sebuah paradoks yang wajib dijadikan sebagai bahan refleksi oleh umat Islam yang mayoritas penganutnya di Indonesia.

Tarmizi Taher (dalam Ahmad Kusaeri, 2011:55) menjelaskan bahwa tujuan agama bukan sekadar membangun tempat-tempat ibadah yang indah dan megah, tetapi lebih utama yaitu mengembangkan dan meningkatkan kualitas hidup bersama, seperti toleransi, kesejahteraan, dan cinta. Oleh karena itu, kekerasan jelas sangat bertentangan dengan nilai-nilai ajaran agama.

Kemunculan aliran Islam radikal di Indonesia bukan serta-merta karena akibat ketidakadilan pemerintah. Karena ada yang menyebutkan bahwa aksi kekerasan yang berlatar agama akibat pemerintah yang tidak adil dalam menjalankan agama. Jauh dari itu, secara sederhana para penganut alirasn Islam radikal mereka tampak tergolong baru dalam memahami agama ajaran agama Islam yang bersumber dari al-Quran. Dengan mudah, mereka menggunakan dalil dari ayat-ayat al-Quran sebagai pembenaran atas tindakannya.

Baca: Mewaspadai Gerakan Kelompok Pengusung Khilafah

Nilai-nilai al-Quran yang unviersal seakan tak berlaku lagi jika melihat dari cara mereka menjalankan ajaran al-Quran: sempit dan pendek dalam berpikir. Hal ini sebenarnya yang menjadi ancaman atas eksistensi agama Islam dengan universalitas ajarannya. Kesesuaian ajaran al-Quran untuk berbagai macam zaman telah hanyut oleh kekerdilan mereka dalam memahami al-Quran secara paripurna. Ayat-ayat tentang jihad dimaknai sebagai bentuk peperangan sebagaimana pada masa Nabi Muhammad, dan umat Islam wajib melakukannya. Padahal, pemahaman jihad tidak sesempit itu.

Pemahaman Substantif

Dalam kalangan umat Islam seperti dijelaskan oleh Martin van Bruinessen (2013:375) bahwa kalangan umat Islam tertentu menggembar-gemborkan tentang kembali kepada al-Quran dan Hadis, namun sebagian besar hanya membaca al-Quran dan Hadis dari terjemahan – dan bacaan agama mereka sesungguhnya – hanya terbatas pada para penulis reformis kontemporere. Jika demikian yang terjadi, mustahil masyarakat Islam modern ini untuk memahami ajaran Islam secara mendalam.

Isu-isu yang menyeret agama ke ranah publik sebagai konflik sosial yang berlatar sebuah keyakinan seperti jihad bom bunuh diri dengan pembenaran dari al-Quran, kita sedikit bisa menarik sebuah kesimpulan. Jika kita perhatikan, para pengikut aliran radikal, mereka termasuk “orang baru” dalam memasuki dan mendengungkan ajaran agama. Seakan, orang-orang yang telah lama belajar agama dan pemahaman yang utuh tertinggal jauh atas perjuangan mereka yang dianggap benar.

Kita bisa melihat para pelaku dan kelompok aliran radikal sebagai masyarakat yang tertutup dan tidak tampil hidup bersosial. Padahal, salah satu membangun kerukunan kita harus menyemai komunikasi. Tidak ada yang menyangkal bahwa komunikasi merupakan faktor penting untuk mewujudkan kerukunan di tengah masyarakat. Komunikasi merupakan jalan untuk membangun keharmonisan. Untuk membangun sikap toleran, maka diperlukan komunikasi di antara umat beragama (Amirulloh Syarbini, 2011:24).

Sebagaimana dijelaskan oleh Syarbini bahwa kekerasan di negeri ini tak pernah berujung. Kekerasan seolah-olah menjadi fenomena eksesif yang berlangsung di hampir semua ranah kehidupan. Dari kaum elit sampai rakyat tak sepi dari kekerasan. Demikian pula dengan kekerasan yang mengatasnamakan agama. Hingga, belakangan ini peristiwa dalam konflik berbau agama muncul ke permukaan dan menjadi buah bibir masyarakat Indonesia. Padahal, tidak ada agama manapun yang mengajarkan kekerasan.

Salah satu penyebabnya selain memang masyarakat kurang melakukan komunikasi, cara memahami ajaran Islam pun banyak ditempuh dengan cara-cara yang instan, hingga hasil pemahaman mereka menjadi gerakan berpenyakitan. Pemaparan Martin mungkin sudah cukup jelas dalam menggambarkan umat Islam modern yang belajar teks-teks al-Quran dan Hadis dari hasil terjemahan, sehingga pemahaman mereka masih terbilang dipengaruhi sang penerjemah. Kaidahnya, apapun yang berbau instan, itu memiliki dampak negatif cukup besar bagi kehidupan.

Dalam ulasannya, Elan Zaenal Rahman (2011:111) menyebutkan bahwa ajaran Islam menganjurkan untuk selalu bekerja sama dengan orang lain dan saling tolong-menolong dengan sesama manusia – hal itu juga tertera dalam surat al-‘Ashr. Hal ini menggambarkan bahwa umat Islam diperintahkan untuk menjaga kerukunan umat beragama, baik yang seagama maupun berbeda agama. Dalam konteks kekinian, umat Islam seakan melupakan hal tersebut.

Maka dari itu, pemahaman tentang ajaran agama Islam jangan hanya atas sebagian teks saja, tetapi harus menyeluruh dan mendalam. Lebih dari itu, dalam mempelajari teks-teks suci, umat Islam jangan berpedoman pada tatacara yang instan agar tidak melakukan kesalahan atas kesucian teks selain memang harus didiskusikan dengan mereka yang benar-benar paham tentang seluk-beluk teks-teks suci. Mari jaga bersama keamanan bangsa dan negara dengan memahami unsur ajaran agama (Islam) dengan baik dan benar!

* Penulis adalah Akademisi dan Pengamat Sosial asal Sumenep, lulusan UIN Sunan Ampel Surabaya. Sekarang Tinggal dan Bergiat di Komunitas Rudal  Yogyakarta.

Harakatuna
Harakatuna
Harakatuna.com merupakan media dakwah berbasis keislaman dan kebangsaan yang fokus pada penguatan pilar-pilar kebangsaan dan keislaman dengan ciri khas keindonesiaan. Transfer Donasi ke Rekening : BRI 033901002158309 a.n PT Harakatuna Bhakti Ummat

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru