29.9 C
Jakarta
Array

Hadis Dhaif (yang) Boleh Digunakan Seseorang

Artikel Trending

Hadis Dhaif (yang) Boleh Digunakan Seseorang
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Kesahihan suatu informasi memang mutlak dibutuhkan. Namun menjaga keotentikan sebuah informasi sebagaimana sumber aslinya merupakan hal yang tidak mudah. Informasi keagamaan yang lebih dikenal dengan istilah sunah maupun hadis juga tak luput dari hal ini. Dengan susah payah para ulama menjaga kemurnian hadis yang bersumber dari pembawa syariat, Nabi Besar Muhammad saw melalui filter yang dinamakan ilmu mushtalah hadist.

Dari sistem filter inilah terpilah-pilah mana informasi dari Nabi saw yang sangat valid (shahih), mana yang lumayan (hasan). Serta mana yang lemah (dhaif), serta mana yang palsu/hoax (maudhu’). Tentu dari klasifikasi tingkat validitas hadis ini bagi siapapun akan mudah memilih mana yang bisa diterima dan mana yang dihindari dalam menjalankan syariat Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw. Mengingat hadis sebagai sumber kedua dalam melangsungkan keberagamaan setiap Muslim, dua tingkat teratas hadis sahih dan hadis hasan bisa dijalankan. Namun apakah hadis yang kualitasnya lemah serta merta diragukan dan dibuang bergitu saja?

Definisi Hadis Dhaif

Hadis dhaif ialah hadis yang tidak memenuhi kriteria tingkatan hadis hasan dan sahih yakni meliputi bersambungnya jalur riwayat (sanad) dan integritas perawi (ʻadl), kompetensi perawi (dhabth) dalam menangkap hadis secara ingatan maupun tulisan, tidak menyimpang dari umumnya riwayat (ʻadam syudzûdz), dan bebas dari cacat yang dapat menurunkan kualitas hadis (khuluw Min al-ʻIllah).

Demikian jelas pakar hadis dari tanah haram, Sayyid Muhammad bin Alawy al-Maliki dalam al-Qawâʻid al-Asâsiyah fî ʻIlm Mushthalah al-Hadîts. Sebenarnya kriteria sahih dan hasan sama saja, hanya saja syarat hasan lebih ringan dibanding sahih. Sehingga keduanya dalam Taysîr Mushthalah al-Hadîts oleh Mahmud al-Thahhân digolongkan sebagai hadis maqbûl (diterima). Sekali lagi, apakah hadis dhaif ditolak begitu saja?.

Abdul Fatah al-Yafiʻi dalam bukunya Hukm al-ʻAmal bi al-Hadîts al-Dhaʻîf menguraikan, ada tiga kelompok ulama yang berbeda pandangan mengenai status pengamalan dan diterimanya hadis dhaif sebagai hujjah.

Silang Pendapat

Pertama, diterima dengan syarat tidak berbicara mengenai hukum halal dan haram serta tentang akidah. Pandangan ini didominasi dan disepakati oleh mayoritas ulama hadis, fikih, ushul fikih serta empat madzhab. Menurut mereka boleh menjadikan hadus dhaif sebagai dalil dari fadhâil (keutamaan) baik keutamaan amalan, sejarah, biografi tokoh, keutamaan tempat. Juga suku, hikayat, nasehat saleh (targhîb) maupun ancaman bermaksiat (tarhîb), peribahasa dan lain sebagainya selain hukum halal haram dan akidah. Bahkan hadis dhaif juga digunakan oleh ulama madzhab sebagai dasar menghukumi sunah maupun makruh seperti dzikir saat tawaf, baca bismillah saat wudhu, puasa Rajab. Sebab sunah dan makruh berbeda dengan halal dan haram.

Kedua, ditolak secara mutlak. Pendapat ini digawangi oleh sebagian muhadditsîn semisal Abu Syamah dan Ibnu al-Mulaqqin. Pandangan ini dinilai terlalu ketat. Kemungkinan kebenaran informasi (hadis) dari Nabi Saw belum tertutup. Sebab menurut Ibnu Taimiyah dalam Majmûʻ al-Fatâwâ-nya perawi yang kehilangan integritas (ʻadl) karena pernah bohong bisa jadi satu waktu dia berkata jujur apa adanya.

Dalam Tadrîb al-Râwî al-Suyûthi menambahkan, perawi yang kehilangan kompetensi (dhabth) karena sering lupa dan salah dalam satu waktu masih ada kemungkinan ia benar-benar ingat. Meski demikian hadis kedua perawi di atas tetaplah masuk kategori hadis dhaif. Menurut Ustadz Abu Sabiq Suprayitno dalam bukunya Radd al-Hadîts al-Dhaʻîf bi al-Kulliyyah: Fitnah Kubrâ Muʻâshirah, hadis dhaif itu tingkatnya bermacam-macam. Ada yang kuat dan tidak. Tidak semua hadis dhaif 100 % itu bohong. Masih ada berbagai kemungkinan kebenaran dan kejujuran.

Ketiga, diterima tanpa syarat. Pendapat ini dinilai sangat sembrono karena merusak tatanan yang disusun ulama dalam rangka menjaga kemurnian dan keotentikan informasi dari Nabi Besar Muhammad saw.     

Hematnya, pendapat pertama dinilai lebih kuat dan pantas untuk diikuti. Sebab berasal dari pandangan mayoritas ulama baik hadis maupun fikih sekaligus. Juga sebagai pandangan moderat yang menengahi pendapat dua kutub ekstrim. Akhirnya, tidak semua hadis daif ditolak secara mentah-mentah sebagaimana digembar-gemborkan oleh sebagian kelompok dewasa ini yang notabene doyan dengan berita hoaks/maudhuʻ. Mindset inilah yang menjadi fitnah terbesar di zaman sekarang ini. []

Harakatuna
Harakatuna
Harakatuna.com merupakan media dakwah berbasis keislaman dan kebangsaan yang fokus pada penguatan pilar-pilar kebangsaan dan keislaman dengan ciri khas keindonesiaan. Transfer Donasi ke Rekening : BRI 033901002158309 a.n PT Harakatuna Bhakti Ummat

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru