29.5 C
Jakarta
Array

Fikih Ramah Perempuan

Artikel Trending

Fikih Ramah Perempuan
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Kasus kekerasan terhadap perempuan hingga saat ini masih tinggi dan cenderung naik dari tahun ke tahun.  Hal ini dapat dibaca melalui data resmi kekerasan dari Komisi Nasional (Komnas) Perempuan, yang menyebutkan pada tahun 2016 terdapat 19.107 ribu kasus dan meningkat menjadi 216.156 ribu pada 2017. Sebagian besar korban mengalami kekerasan di ranah domestik, yakni 113.878 orang (95,61 persen). Untuk ranah domestik, bentuk kekerasan terbanyak dialami adalah kekerasan psikis (103.691 korban), kekerasan ekonomi (3.222 korban), dan kekerasan seksual (1.398 korban). Adapun bentuk kekerasan lainnya dapat berupa pencabulan, pemerkosaan, pelecehan seksual, pemaksaan aborsi, eksploitasi seksual, prostitusi, dan pornografi.

Yang paling ironis, jumlah korban kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) nyaris 95 persen menimpa ibu rumah tangga. Ini berarti ranah domestik yang seharusnya menjadi tempat aman bagi perempuan ternyata justru rawan dan tidak nyaman lagi. Sederet fakta tragis ini seolah semakin mengutkan adanya upaya serius untuk menghadirkan ijtihad pemikiran progresif guna membentuk gerakan atau terobosan baru sistem hukum yang berperspektif hak asasi manusia dan jender satu sisi dan berperspektif Islam sisi yang lain. Muaranya tidak lain dalam rangka peneguhan kembali akan spirit keberpihakan dan pengakuan Islam terhadap eksistensi dan peran kontributif perempuan dalam menyonsong masa depan peradaban Islam. Pengakuan dan keberpihakan Islam terhadap peran serta perempuan tercatat rapi dalam lipatan sejarah peradaban dan kebudayaan Islam.

Berangkat dari asumsi dasar bahwa perkembangan dan dinamika globalisasi memberikan dampak yang luar biasa pada pola hubungan kemanusiaan yang baru dan berbeda dengan masa sebelumnya, termasuk di dalamnya bidang hukum keluarga. Isu-isu seputar fikih keluarga kontemporer seperti nikah siri, kekerasan dalam rumah tangga, perlindungan anak, nikah beda agama, hak waris non-muslim, masalah pencatatan nikah, prosedur penceraian, poligami,  hak waris laki-laki dan perempuan, dan lain sebagainya membutuhkan jawaban solutif dari kaca mata Islam. Problemnya sekarang, bagaimana Islam merespon berbagai persoalan keluarga di masing-masing komunitas muslim, ternasuk di Indonesia dengan tetap berpijak pada semangat dan watak dasar Islam yang rahmatan lil’alamin atau rahmat bagi sekalian alam.

Respon yang beragam

Jawaban atas dinamika ini, pada akhirnya selalu memunculkan respon beragam dari banyak kalangan baik yang beraliran liberal maupun yang beraliran konservatif.Kedua kelompok ini, tentunya mempunyai perspektif yang berbeda dalam merespon dinamika kontemporer yang terjadi pada bidang kajian hukum keluarga.

Bagi kalangan liberal, persoalan atau isu-isu seputar fikih keluarga kontemporer seperti nikah siri, kekerasan dalam rumah tangga, perlindungan anak, nikah beda agama, hak waris non-muslim, masalah pencatatan nikah, prosedur penceraian, poligami,  hak waris laki-laki dan perempuan, dan lain sebagainya coba didekonstruksi melalui tawaran metodologi baru yang lebih progresif dengan tujuan tunggal rekontektualisasi fikih keluarga berdasar kajian hukum Islam klasik dengan berdasar atas persoalan kekinian.  Kelompok ini meyakini bahwa kajian hukum Islam klasik meruang-mewaktu, artinya produk hukum yang dilahirkan tidak bisa lepas dari fenomena sosial yang mengitarinya.Sementara, kasus-kasus fikih keluarga kontemporer terus berkembang pesat sesuai deng laju perkembangan zaman.

Sebaliknya, bagi kalangan konservatif, menilai bahwa fenomena kekinian yang dihadapi umat Islam tidaklah membutuhkan perangkat analisis baru untuk menjawabnya.Sebab Islam telah merumuskan solusi secara sempurna atas segala personalan manusia di dalam al-Qur’an dan Hadis.Maka, proses penyelesaiannya pun cukup dengan kembali pada al-Qur’an dan Hadist. Dengan demikian, berpaling dari al-Qur’an dan Hadist sama saja dengan mengingkari aturan Tuhan yang termaktub dalam dua sumber hukum tersebut.

Yusdani (2011) dalam bukunya Menuju Fiqih Keluarga Progresif, menjelaskan tentang semangat dasar dari fikih yang lebih mengarah pada keberpihakan perempuan dengan merujuk pada seperangkat seperangkat rumusan hukum Islam yang mungkin menjadi referensi dasar bagi terciptanya masyarakat berkeadilan yang menjunjung nilai-nilai kemanusiaan, menghargai hak-hak kaum perempuan, meratanya nuansa keramhatan dan kebijaksanaan, serta terwujudnya kemaslahatan bagi seluruh umat manusia. Dengan kata lain, suatu rumusan baru syariat Islam yang sesuai dengan kehidupan demokrasi dan mencerminkan geneu kebudayaan (lokalitas) Indonesia, dengan keharusan menegakkan demokrasi dalam nation-state Indonesia.

Di dalam hukum keluarga seperti ini semua warga negara mempunyai kedudukan yang sama dan memperoleh perlakuan yang sama serta memperoleh perlakuan yang adil, sehingga kaum minoritas dan perempuan dilindungi dan dijamin hak-haknya secara setara.

Transformasi nalar hukum keluarga progresif yang berdimensi sosial-kamanusiaan begitu kuat harus menjadi agenda utama untuk mencapai cita-cita fikih yang ramah pada perempuan.Hal ini bisa dilihat dari tawaran hukum keluarga yang berperspektif demokrasi, pluralisme, hak asasi manusia, dan keadilan gender. Dengan demikian, gagasan progresif ini, mestinya mampu menghadirkan wajah hukum keluarga di Indonesia yang mencerminkan kesetaraan, keadilan, kemanusiaan, serta menjamin kemaslahatan bersama.

Bertitik tolak dari semua itu, penulis pada akhirnya mencoba menawarkan gagasan bahwa prinsip-prinsip dasar dari pembentukan fikih ramah perempuan yang progresif mestinya bermuara pada pluralisme (ta’addudiyah), rasionalitas (muwatanah), penegakan hak asasi manusia (iqamat al-huquq al-insaniyah), demokrasi, (dimuqratiyah), kemaslahatan (maslahat),  dan kesetaraan gender (al-musawah al-jinsiyah). Sedangkan alur penafsiran ajaran Isalam versi fikih keluarga progresif adalah al-Qur’an, Hadis, kemaslahatan, maqasid al-syariah, akal publik dan kearifan lokal.

Tawaran pembaruan fikih perempuan secara khusus dan keluarga secara umum berbeda dengan rumusan hukum Islam sebelumnya, karena menggunakan nalar pembentukan hukum yang mengaitkan penafsiran teks-teks al-Qur’an dan Hadist dengan perspektif demokrasi, pluralisme, hak asasi dan keadilan gender, dan dibahasakan sesuai dengan aturan-aturan perundang-undangan yang berlaku dalam konteks Indonesia kontemporer. Selain itu, tawaran pembaruan fikih progresif sekalipun kontroversial, mungkin juga ditolak oleh kelompok pendukung formalitas syariat Islam. Akan tetapi, kehadiran ide fikih ramah perempuan ini dimaksudkan sebagai alternatif formalisasi hukum Islam yang kompatibel dengan kehidupan demokrasi dan kondisi Indonesia kontemporer. Wallahu ‘alam.

*Faizi, penulis adalah alumni Pondok Pesantren Annuqayah Latee, Sumenep

Harakatuna
Harakatuna
Harakatuna.com merupakan media dakwah berbasis keislaman dan kebangsaan yang fokus pada penguatan pilar-pilar kebangsaan dan keislaman dengan ciri khas keindonesiaan. Transfer Donasi ke Rekening : BRI 033901002158309 a.n PT Harakatuna Bhakti Ummat

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru