27.6 C
Jakarta
Array

Dilema Konseptual Khilafah HTI: Sebuah Ketergesaan Kesimpulan (2)

Artikel Trending

Dilema Konseptual Khilafah HTI: Sebuah Ketergesaan Kesimpulan (2)
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Landasan Filosofis

Hizb al-Tahrir yang sering menolak dituduh sebagai neo-Mu’tazilah,[15] Khawarij,[16] Wahhabí,[17] dan lebih senang disebut Islamiyyun (Islamist),[18] menegaskan bahwa suatu pemikiran akan kokoh bila dilandasi dengan nalar yang kuat. Tanpa nalar kuat, pemikiran tersebut mudah lenyap. Bahkan Hizb al-Tahrir menyatakan, “Islam adalah pemikiran. Asasnya adalah akal. Perangkat untuk memahami sesuatu itupun adalah akal. Akal adalah satu-satunya asas, tempat Islam didirikan. Akal merupakan asas yang kita gunakan untuk memahami nash-nash Islam. Jadi, keimanan pada Islam itu bergantung pada akal.”[19]

Selanjutnya Hizb al-Tahrir menyimpulkan, “Ketika dinyatakan, Islam merupakan persoalan akal sehingga ia tunduk pada akal, pernyataan seperti itu benar. Begitu pula ketika dikatakan, tolok ukur Islam adalah akal; itu juga benar. Hal ini karena akal merupakan asas Islam. Artinya, pemahaman akan Islam dan berbuat atas dasar Islam bergantung pada akal sebagai perangkat pemahaman dan perbuatan.”[20] Juga tegas dikatakan bahwa akidah dan hukum syarak adalah sebuah pemikiran (fikr) atau hasil proses berfikir. Bedanya, hukum syarak terkait perbuatan manusia, sedang akidah terkait dengan hati dan pembenaran.[21]

Sekalipun peran akal begitu besar dalam pandangan Hizb al-Tahrir, tapi akal bukan merupakan sumber hukum. Karena hukum Allah tidak dapat ditentukan dan dinilai oleh akal manusia yang terbatas. Justru peran hukum Islam adalah mengubah kecenderungan manusia dari hawa nafsu kepada keadilan dan rahmat Allah. Sumber hukum Islam hanya kitab Allah, sunnah Nabi, ijmak sahabat, dan kias.[22]

Dalam kitab Mafahim dijelaskan, berdakwah wajib melandaskan dirinya pada akal-pemikiran sebagai qiyadah fikriyyah (kepemimpinan masyarakat berlandaskan pada akal). Pemikiran yang akan mampu membangkitkan umat tak lain adalah pemikiran yang tercerahkan (al-fikr al-mustanir).[23]

Pemikiran tercerahkan yang dimaksud adalah pandangan mendalam terhadap sesuatu beserta segala hal yang melingkupi dan berkaitan dengannya agar bisa mencapai proses kesimpulan secara benar.[24] Pemikiran tercerahkan adalah tingkat tertinggi dari tiga urutan pemikiran. Menurut Hizb al-Tahrir, terdapat tiga derajat berfikir; pemikiran tercerahkan; permikiran mendalam; dan yang banyak dijumpai, pemikiran dangkal.[25]

Setelah mengurai ragam tingkat pemikiran tersebut, dapat ditarik kesimpulan bahwa pemikiran Hizb al-Tahrir dalam pandangan pemimpin dan pengikutnya adalah hasil dari pemikiran mendalam dan tercerahkan. Terlebih lagi hasil dari pemikiran mereka tentang khilafah yang merupakan masterpiece serta inti perjuangan dan eksistensi Hizb al-Tahrir.

Selanjutnya,  bagaimana nalar yang dikembangkan  Hizb al-Tahrir dalam membangun pemikiran khilafah yang diklaim sebagai pemikiran unggul dan cemerlang?

Menurut Hizb al-Tahrir, khilafah merupakan hal mendesak untuk diwujudkan di bumi. Untuk menunjukkan urgensi khilafah, aktivitas paling mendesak bagi muslimin saat ini adalah menegakkan hukum Allah melalui tegaknya satu khilafah Islam. Hizb al-Tahrir menyatakan, isu penting bagi muslimin adalah kembali menegakkan hukum Allah melalui penegakan khilafah.[26] Lebih lanjut, sebagai konsekuensi terhadap urgensi khilafah, kitab-kitab yang ditulis para tokohnya, berupa afkar, ara’, dan ahkam, semua ditujukan untuk menegakkan khilafah dan mengangkat khalifah.[27] Bagi Hizb al-Tahrir, negara ialah hal mendasar untuk mewujudkan cita-cita kehidupan manusia, atau bahkan cita-cita itu sendiri. Ini bertolak belakang dengan pendapat umumnya kelompok Marxis yang menganggap komunisme jaya apabila negara lenyap (stateless condition), bahkan ini dianggap sebagai puncak sejarah perjuangan kelas (the ultimate end of history and class struggle).[28] Sebaliknya, pendapat Hizb al-Tahrir mirip pernyataan Hegel, bahwa kuat dan mekarnya negara berarti tercapainya cita-cita manusia (the flowering of the state is the fulfilment of the destiny of man).[29]

Dalam kaitan ini, sekalipun Hizb al-Tahrir  tidak menjelaskan secara eksplisit tentang landasan filosofis pemikiran khilafah-nya, namun bila ditelusuri, terdapat  landasan rasional-filosofis terkait khilafah Hizb al-Tahrir, berupa implikasi logis dari kesempurnaan Islam. Islam adalah aturan kamil dan shamil (sempurna dan mencakup) bagi seluruh kehidupan manusia, dan wajib bagi umat Islam melaksanakannya secara sempurna.[30] Sepadan dengan penjelasan A. Rashid Moten bahwa Islam adalah sistem kehidupan komprehensif, sehingga tidak dibenarkan membagi wilayah kehidupan masyarakat kepada religius dan sekular.[31]

Jadi, Islam sebagai agama yang diturunkan Allah berfungsi memberi arahan kepada umat manusia dalam urusan dunia dan akhirat. Beberapa ayat al-Quran memuat tentang kesempurnaan Islam serta ketentuan penyebarannya ke seluruh penjuru dunia, maupun penegasan agar masuk Islam secara sempurna. Antara lain: Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam jadi agama bagimu. (QS. al-Maidah [5]:3). Dan Kami tidak mengutus kamu, melainkan kepada umat manusia seluruhnya sebagai pembawa berita gembira dan pemberi peringatan, tetapi kebanyakan manusia tiada mengetahui. (QS. Saba [34]:28). Hai orang-orang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam keseluruhan, dan jangan kamu turuti langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu musuh nyata bagimu. (QS. al-Baqarah [2]:208)

Ayat-ayat tersebut berimplikasi perlunya totalitas dalam berislam. Dengan berislam secara total atau kaffah, umat Islam akan menikmati kehidupan yang adil, damai, dan sejahtera dalam naungan ridaNya. Untuk melaksanakan itu perlu institusi, dan institusi yang mampu menerapkan Islam secara total adalah khilafah.[32]

Tampaknya, Hizb al-Tahrir memaknai totalitas dalam berislam adalah ketika khilafah  berdiri tegak. Lebih lanjut ditegaskan bahwa melanjutkan kehidupan Islam dan penerapan syariah secara sempurna tidak akan terwujud kecuali dengan khilafah.[33] Hal ini juga dapat dipahami dari latar belakang berdirinya Hizb al-Tahrir  yang berupaya melanjutkan kehidupan islami dengan menegakkan khilafah. Dengan khilafah, Islam akan bisa diterapkan secara sempurna di seluruh negeri muslim, dan dengan khilafah pula dakwah Islam akan diemban ke seluruh dunia. [34] Karena memang politik luar negeri khilafah berlandaskan pada penyebaran Islam ke seluruh dunia, sebagaimana ditandaskan pada salah satu ayat di atas (QS. [34]:28).[35]

Konsep kesempurnaan tersebut dikukuhkan dengan  penegasan  Hizb al-Tahrir  bahwa khilafah adalah bagian intrinsik dari ajaran Islam, yang tidak boleh ditinggalkan. Sesungguhnya mengembalikan hukum-hukum yang diturunkan Allah tidak akan bisa mewujud di dunia kecuali dengan menegakkan khilafah.[36] Konstruksi nalar di atas biasanya akan dikaitkan dengan salah satu prinsip dalam epistemologi hukum Islam yang disebut oleh Hizb al-Tahrir sebagai kaidah syar’iyyah yang sifat aplikasinya kulliyah  (menyeluruh) seperti  kaidah “jika suatu kewajiban tidak bisa ditunaikan dengan sempurna kecuali dengan adanya hal lain, maka hal lain itu menjadi wajib pula”.[37] Dalam konteks khilafah, kaidah ini digunakan untuk menjelaskan bahwa menegakkan hukum-hukum pidana Islam, pembagian ghanimah, pembagian zakat, pengangkatan hakim dan lain-lain, kesemuanya itu tidak dapat terlaksana bila tidak ada khilafah, maka dengan demikian penegakan khilafah itu wajib adanya, agar semua hukum-hukum tersebut dapat terlaksana.[38]

Untuk menguatkan ketidakterpisahan khilafah dengan Islam, Hizb al-Tahrir mengkategorikan khilafah sebagai sebuah tariqah yang ditetapkan Islam. Sebagaimana diketahui, Hizb al-Tahrir membagi Islam menjadi dua, yakni fikrah dan tariqah.[39] Akidah Islam dan hukum syara’ yang berfungsi memecahkan problem manusia adalah fikrah. Sedangkan hukum syarak yang menjelaskan metode pelaksanaan pemecahan problem manusia, cara memelihara akidah, dan cara mengemban dakwah masuk katagori tariqah.[40]  

Selanjutnya Hizb al-Tahrir menyimpulkan bahwa tariqah tidak bisa dipisahkan dari fikrah. Tidak boleh bagi umat Islam hanya mencukupkan diri berdakwah dan mengemban Islam hanya pada sisi Islam yang terkait dengan fikrah saja. Hizb al-Tahrir membuat padanan, bahwa keimanan terhadap tariqah sama bobot dan nilainya sebagaimana mengimani fikrah.[41]

Baca: Dilema Konseptual Khilafah HTI: Sebuah Ketergesaan Kesimpulan (1)

Dengan pandangan tersebut, Hizb al-Tahrir ingin membangun suatu pandangan bahwa khilafah adalah perintah Islam yang tidak sekadar bagian dari pemikiran Islam yang boleh dipakai atau ditinggalkan, akan tetapi merupakan unsur yang membangun dan membentuk Islam itu sendiri. Tanpa khilafah, Islam yang sekarang ini tidak bisa disebut sebagai Islam yang sempurna atau Islam yang pincang dan parsial.

Akhirnya Hizb al-Tahrir mengatakan bahwa khilafah merupakan “satu-satunya metode absah” untuk menerapkan hukum-hukum Islam dan mengejawantahkannya dalam kehidupan nyata.[42] Kemudian, Hizb al-Tahrir masih memerlukan afirmasi kata yang mencerminkan ajaran Islam, sehingga kalimat “satu-satunya metode absah” dianggap belum cukup, masih perlu  ditambahi dengan kata “yang mempunyai kekuatan hukum dan mengikat umat Islam”.[43] Mirip dengan bahasa yang digunakan Farid Wadjdi, salah seorang tokoh Hizb al-Tahrir Indonesia, khilafah merupakan satu-satunya metode bagi penerapan syariat Islam secara menyeluruh dalam semua aspek kehidupan.[44]

Nalar khilafah yang dibangun Hizb al-Tahrir tak hanya itu, Hizb al-Tahrir  masih perlu mengkonstruksi Islam sebagai sebuah ideologi (mabda’).[45] Mabda’atau ideologi diartikan sebagai suatu keyakinan atau akidah yang berlandaskan rasionalitas yang dengan itu akan menghasilkan aturan bagi manusia.[46]

Makna akidah yang berlandaskan rasionalitas di sini ialah pemikiran yang komprehensif tentang fenomena alam, manusia, kehidupan dan kaitan antara kehidupan dunia dan setelahnya. Sedangkan aturan yang berasal dari akidah berupa solusi memecahkan problem kehidupan, penjelasan cara pelaksanaan solusi, penjagaan akidah, dan penyebaran mabda’.[47]

Selanjutnya Hizb al-Tahrir merinci lebih jauh bahwa ajaran Islam yang berisi penjelasan cara melaksanakan dan menjaga mabda’, serta cara mengemban dakwah sebagai bagian dari tariqah. Fikrah-nya berupa solusi pemecahan problem manusia. Jadi mabda’ harus terdiri dari dua unsur, yaitu fikrah dan tariqah.[48] Dengan demikian, khilafah merupakan bagian dari mabda’ yang harus diwujudkan. Tanpa khilafah, Islam bukan sebagai mabda’ lagi.

Mungkin bagi para pemikir yang tidak menjadi pengikut Hizb al-Tahrir, tidak mempermasalahkan apakah Islam itu mabda’ atau bukan. Namun bagi pengikut  Hizb al-Tahrir, Islam sebagai mabda’ adalah vital. Hal ini berangkat dari asumsi bahwa karena Islam sebagai mabda’, maka akan menelorkan seluruh aturan bagi negara dan umat yang dengannya akan memecahkan dan memberi solusi bagi problem kehidupan.[49] Jadi, Hizb al-Tahrir menandaskan bahwa tegaknya al-dawlah al-Islamiyyah berdasar mabda’ Islam.

Islam sebagai  mabda’ menurut Hizb al-Tahrir merupakan satu-satunya mabda’ yang benar di dunia (di antara tiga mabda’ yang ada: Islam, kapitalisme, dan komunisme-sosialisme. Sementara itu, agama Yahudi, Nasrani, atau yang lainnya bukan merupakan mabda’,  karena agama ini hanya sekadar ikatan ruhani saja sehingga sifatnya parsial dan tidak praktis serta tidak mengatur hubungan manusia dengan manusia lain dalam kaitan dengan kehidupan manusia secara keseluruhan.[50]

Jika dicermati, landasan filosofis yang merupakan ratio legis Hizb al-Tahrir, dapat ditemui adanya titik kesamaan dengan konsep para pemikir politik muslim era klasik dan abad pertengahan seperti Ibnu Abi Rabi’, al-Farabi (257–339 H), al-Mawardi (364–450 H), al-Ghazali (450–508 H), Ibnu Taimiyah (661–728 H), serta Ibnu Khaldun (732– 808 H). Bahkan para pemikir politik Islam klasik, pada bagian tertentu, memberi wawasan lebih luas dalam mengolah argumen filosofis dibanding paparan pemikiran yang dilontarkan Hizb al-Tahrir.

Kesamaan tersebut semisal adalah pernyataan Abdulqadim Zallum, bahwa mengembalikan hukum yang diturunkan Allah tidak akan bisa mewujud kecuali dengan menegakkan khilafah.[51] Nalar Zallum ingin menjelaskan bahwa agama dengan ajarannya tidak bisa tegak tanpa adanya khilafah. Dengan bahasa yang berbeda tapi dengan maksud yang sama, al-Ghazali menyatakan, “Religion and king like twins; religion is foundation, while the sultan is guardian; something without foundation easily collapses, and foundation without a guardian is lost.”[52] Al-Ghazali menegaskan bahwa keberadaaan sultan merupakan keharusan bagi ketertiban di dunia, ketertiban dunia merupakan hal yang niscaya bagi ketertiban agama, dan ketertiban agama merupakan keharusan bagi tercapainya kesejahteraan akhirat nanti. Maka, pengangkatan pemimpin merupakan keharusan atau kewajiban agama.[53]

Ibnu Taimiyah mengatakan bahwa perintah Allah agar umat Islam melakukan amar ma’ruf nahi munkar tidak akan bisa dilaksanakan tanpa diemban oleh suatu kekuatan, kekuasaan, atau pemerintahan. Jadi pemerintahan sajalah yang mampu menegakkan amar ma’ruf nahi munkar. Lebih jauh akhirnya Ibnu Taimiyah mengatakan bahwa  sultan sebagai shadow of God on earth (bayangan Tuhan di muka bumi).[54] Sedemikian rupa kepemimpinan begitu penting menurut Ibnu Taimiyah, hingga dikatakan, ”Enam puluh tahun dari kehidupan seorang pemimpin lalim lebih baik daripada satu malam tanpa adanya kepemimpinan.” [55]

Itulah kesamaan pemikiran Hizb al-Tahrir dengan ulama-ulama klasik yang berinti pada penjagaan dan pelaksanan hukum Allah memerlukan keberadaan institusi atau negara. Artinya, hukum Allah yang telah diturunkan kepada umat manusia agar dapat diaplikasikan, perlu sebuah institusi yang disebut negara. Namun, sisi kelebihan para pemikir politik klasik  yang tidak dimiliki oleh Hizb al-Tahrir, adalah pemaparan argumen dari perspektif filsafat sosial tentang urgensi kepemimpinan.

Meski boleh jadi perspektif filsafat sosial tersebut terinspirasi dari pemikir Yunani seperti Plato dan Aristoteles. Baik Ibnu Abi Rabi’, al-Farabi, al-Mawardi, al-Ghazali, serta Ibnu Khaldun berpendapat  bahwa manusia adalah makhluk sosial yang dalam memenuhi dan mencukupi kebutuhan dalam kehidupannya, seperti kebutuhan akan pakaian, rumah, reproduksi keturunan, maupun kesehatan, perlu  kerjasama dan koordinasi dengan manusia lain. Kerjasama inilah yang merupakan cikal bakal atau the origin and growth of a state.[56]

Apabila dilakukan kajian kritis terhadap pemikiran Hizb al-Tahrir di atas, maka dapat diterimanya argumen kesempurnaan Islam, maksimal hanya pada tataran bahwa Islam memerlukan atau menyarankan suatu lembaga atau institusi untuk mengelola dan mengatur masyarakat muslim. Dengan demikian, untuk sampai pada konklusi bahwa Islam memerlukan, apalagi mewajibkan adanya institusi yang bernama khilafah, terlebih lagi khilafah model Hizb al-Tahrir adalah suatu ketergesaan yang dipaksakan. Mengapa demikian? Ada perbedaan yang mendasar antara kebutuhan masyarakat muslim terhadap institusi politik,  dengan kebutuhan terhadap salah satu jenis institusi politik yang disebut khilafah. Sebagaimana diketahui dalam perspektif politik, khilafah dapat dimasukkan sebagai salah satu bentuk institusi politik, bukan satu-satunya bentuk. Khilafah bukan sebagai satu-satunya bentuk institusi politik sebenarnya juga diakui oleh Hizb al-Tahrir. Gerakan ini menyebutkan ada bentuk institusi politik kerajaan, republik, dan lain sebagainya walaupun ditolak eksistensinya karena dianggap tidak sesuai dengan hukum syarak.

Referensi:

[15]Yahya Abdurrahman, “Hizbut Tahrir  Menjawab Tuduhan Miring”, Al-Wa’ie, No.5 Th.V (Maret-2005), 46.

[16]Hafidz Abdurrahman, “Hizbut Tahrir, Khawarij?”, Al-Wa’ie, No.71 Th.VI (Juli-2006), 32.

[17]Al-Wa’ie, “Hizbut Tahrir Wahabi? ”,  Al-Wa’ie  No.107  Th.IX (Juli -2009), 30.

[18]Ini menurut Masdar Hilmy. Hilmy melanjutkan bahwa tidak seperti istilah “fundamentalis”, “militan”, “radikal”, atau “teroris”, yang cenderung pejorative dan reduksionis, istilah Islamis (Islamiyun) adalah yang dipilih mereka dan menjadi bagian dari gerakan Islamis. Masdar Hilmy, Teologi Perlawanan (Yogyakarta: Kanisius, 2009), 24. Dalam penelusuran peneliti, HT tidak pernah menyebut dirinya sebagai Islamis.

[19]Hizb al-Tahrir, Seruan Hizbut  Tahrir  Kepada Kaum Muslimin, terj. Muhammad Fatih  (Bogor: Pustaka Thoriqul Izzah, 2003). 55.

[20]Hizb al-Tahrir, Seruan Hizbut  Tahrir  Kepada Kaum Muslimin, 55-56. Sekalipun kelompok ini cukup mengapresiasi akal, namun mereka menolak filsafat. Bahkan dikatakan, dalam Islam tidak ada filsafat. Lebih jauh disimpulkan secara tergesa-gesa bahwa filsafat berkontribusi atas kemunduran Islam. Mohammad Maghfur Wahid, “Pengaruh Filsafat Terhadap Kemunduran Islam, “ Al-Wa’ie, No.58 Th.V (Juni-2005), 50-54.

[21]Hizb al-Tahrir, Mithaq al-Ummah  (Tt: Hizb al-Tahrir, tt). 10.

[22]Syabab Hizbut Tahrir Inggris,  Bagaimana Membangun Kembali Negara Khilafah, terj. M. Ramdhan Adi  (Bogor: Pustaka Thoriqul Izzah, 2004). 70-71.

[23]Hizb al-Tahrir, Mafahim Hizb al-Tahrir  (Ttp: Hizb al-Tahrir: Tt), 14.

[24]Ibid, 14.

[25]Taqiuddin al-Nabhani, Al-Tafkir (Hizb al-Tahrir: Ttp, 1973), 105.

[26]Anonim, The Methodology of Hizbut-Tahrir  for Change (London: Al-Khilafah Publications, 1999), 4. Dalam edisi Arab terdapat tulisan, “Ini adalah teks pidato disampaikan perwakilan Hizb al-Tahrir pada muktamar  Ikatan Mahasiswa Muslim, di Missouri, USA, 24 Jumadil-Ula 1410 H.” Perwakilan Hizb al-Tahrir, Manhaj Hizb al-Tahrir fi al-Taghyir (Ttp: Hizb al-Tahrir, tt), 2, 11. Tentu, identifikasi problem utama umat Islam tak selalu sama seperti kata Hizb al-Tahrir. Ismail Faruqi menulis, masalah utama dunia Islam adalah sufisme, taklid, kolonialisme, perpecahan dan sekulerisme. Ismail Faruqi, “Islamic Renaissance in Contemporary Society,” dalam Modern Islamic Movements, ed. Muhammad Mumtaz Ali (Kuala Lumpur: AS. Noordeen, 2000), 13.

[27]Hizbut Tahrir, Hizbut  Tahrir  (Ttp: Hizbut Tahrir, 1995),  8.

[28]Andrew Vincent, Theories of The State (New York: Basil Blackwell, 1987), 148.

[29]Sebagaimana dikutip Amien Rais dalam kata pengantar untuk  buku terjemahan karya Abul A’la al-Maududi, Khilafah dan Kerajaan,  terj. Muhammad Baqir (Bandung: Mizan, 1998), 30.

[30]‘Abd Qadim Zallum,  Nizam al-Hukm fi al-Islam  (2002),14.

[31]A. Rashid Moten,  “Islamization of Knowledge: Methodology of Research in Political Science,”  The American Journal of Islamic Social Science,  vol 7 no. 2   (September, 1990), 167.

[32]Mujiyanto, “Manifesto Hizbut Tahrir: Jalan Baru untuk Indonesia Lebih Baik,”  Al-Waie, no. 107  tahun IX  (Juli, 2009), 11.

[33]‘Abd Qadim Zallum,  Nizam al-Hukm fi al-Islam  (2002), 9.

[34] Taqiuddin al-Nabhani, Mafahim Hizb al-Tahrir  (1953), 47.

[35] Taqiuddin al-Nabhani, Al-Dawlah al-Islamiyyah  (1994), 149.

[36] ‘Abdulqadim Zallum, Nizam al-Hukm fi al-Islam  (Beirut: Dar al-Ummah, 1996), 11.

[37]Kaidah di atas bersama  kaidah  ان الحسن ما  حسنه الشرع, والقبيح ما قبحه demikian juga termasuk kaidah ان الخير ما ارضى الله, و أن  الشر ما أسخطه   termasuk juga   kaidah  استصحاب الاصل dan terakhir kaidah ان العبادات والمطعومات  والملبوسات والمشروبات والأخلاق لا تعلل ويلتزم فيها بالنص adalah yang diadopsi (ditabanni) oleh Hizb al-Tahrir,Lihat,  Hizb al-Tahrir, Hizb al-Tahrir  (Al-Ta’rif)  (Tt: Hizb al-Tahrir, 1953), 12, 14. Taqiuddin al-Nabhani, Mafahim Hizb al-Tahrir, 14.  Perlu dicatat, ada beberapa kaidah dalam epistemologi hukum Islam yang ditolak oleh Hizb al-Tahrir seperti kaidah  ينكر تغير الاحكام بتغير الزمان لا dan juga kaidah tradisi  محكمة  العادة   Taqiuddin al-Nabhani, Mafahim Hizb al-Tahrir , 7.

[38]Hizb al-Tahrir, Ajhizat Dawlat al-Khilafah  (Beirut: Dar al-Ummah, 2005), 10,   Mahmud ‘Abd. Al-Majid al-Khalidi, Qawaid Nizham al-H}ukm fi al-Islam  (Beirut: Dar al-Buhuth al-‘Ilmiyyah, 1980), 247. Bandingkan pula penggunaan kaidah ini oleh Hizb al-Tahrir  dalam  mendirikan takattul yang bergerak untuk mendirikan khilafah. Al-Nabhani, Al-Syakhsiyyah al-Islamiyyah jilid 3 (Al-Quds: Hizb al-Tahrir, 1953), 37.

[39]Taqiuddin al-Nabhani, Mafahim Hizb al-Tahrir  (Hizb al-Tahrir: Ttp, 1953), 47. Hizb al-Tahrir membedakan antara tariqah dengan uslub atau wasilah. Tariqah bersifat tetap, sedang uslub atau wasilah bisa berubah dan diganti. Perbuatan tergolong tariqah adalah perbuatan bersifat fisik, dan dapat menghasilkan sesuatu yang nyata dalam kehidupan, sekalipun kedua perbuatan tersebut dapat menghasilkan nilai amal yang sama. Contoh, doa adalah perbuatan fisik tapi menghasilkan nilai bersifat rohani berupa amal. Hal ini berbeda dengan jihad yang merupakan perbuatan fisik dan menghasilkan sesuatu yang nyata seperti penaklukan. Demikian juga salat merupakan fikrah, tariqah pelaksanaan salat melalui negara. Maka, negara tidak boleh hanya menganjurkan salat saja tanpa ada hukuman fisik bagi orang muslim yang meninggalkan salat.

[40]Taqiuddin al-Nabhani, Mafahim Hizb al-Tahrir, 11.

[41]Ibid, 11.

[42]‘Abdulqadim Zallum, Nizam al-Hukm fi al-Islam  (1996), 12, 20.

[43]Ibid, 19.

[44]Farid Wadjdi, “Hanya Khilafah yang Layak Memimpin Dunia,“ Al-Wa’ie, nomor  67 tahun VI (Maret-2006), 113.

[45]Taqiuddin al-Nabhani, Nizam al-Islam (Tt: Hizb al-Tahrir, 2001), 34.

[46]Taqiuddin al-Nabhani, Nizam al-Islam, 24. Ahmad al-Qas}as}, Usus al-Nahdah al-Rasyidah  (Beirut: Dar al-Ummah, 1995), 36.

[47]Muhammad Hussain Abdullah, Dirasat fi al-Fikr al-Islami (Beirut: Dar al-Bayariq, 1990), 35 dan al-Nabhani, Nizam al-Islam, 24.

[48]Taqiuddin al-Nabhani, Nizam al-Islam, 24.

[49]Taqiuddin al-Nabhani, Al-Takattul al-Hizbi  (Tt: , Hizb al-Tahrir, 2001),  6.

[50]Taqiuddin al-Nabhani, Nizam al-Islam, 24, 34.

[51] Abdulqadim Zallum, Nizam al-Hukm fi al-Islam  (1996), 11.

[52]Munawir Sjadzali, Islam and Governmental  System  (Jakarta: INIS, 1991),  54. Terjemahannya, “Agama dan raja seperti saudara kembar. Agama adalah fondasi, dan raja ada penjaga. Sesuatu tanpa fondasi gampang rubuh, fondasi tanpa penjaga akan hilang.”

[53]Ibid.,  54.

[54]Ibid,  62.

[55]Ibnu Taimiyah, Siyasah Syar’iyyah Etika Politik Islam, terj. Rofi’ Munawar (Surabaya: Risalah Gusti, 2005),  228.

[56]Munawir Sjadzali, Islam and Governmental  System,  32-33,  37, 43, 52, 69.

Harakatuna
Harakatuna
Harakatuna.com merupakan media dakwah berbasis keislaman dan kebangsaan yang fokus pada penguatan pilar-pilar kebangsaan dan keislaman dengan ciri khas keindonesiaan. Transfer Donasi ke Rekening : BRI 033901002158309 a.n PT Harakatuna Bhakti Ummat

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru