27.1 C
Jakarta
Array

Cacat Ontologis, Mughalathah, dan Ahistoris (Koreksi atas Cacat Berfikirnya Siddiq al-Jawi)

Artikel Trending

Cacat Ontologis, Mughalathah, dan Ahistoris (Koreksi atas Cacat Berfikirnya Siddiq al-Jawi)
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Banyak sekali saya dapat WA yang bertanya tentang kritik Siddiq al-Jawi kepada Prof. Mahfud MD.  Siddiq al-Jawi ini mengaku sebagai Mahasiswa S3 UIN Surabaya. Padahal, tidak ada nama mahasiswa S3 seperti itu.

Menurut Siddiq al-Jawi,  tulisan Prof. Mahfudz MD adalah cacat  epistemologis karena menggunakan logika silogisme.  Katanya,  seharusnya kalau bicara hukum Islam, maka hendaklah menggunakan pendekatan penalaran ushul fiqih.

Tidak usah panjang lebar untuk menjawab Siddiq al-Jawi ini.  Dia hanya berpegang kepada usul fiqih karya orang Hizbut Tahrir saja atau yang sejalan dengan pemikiran HT. Dia sebagai  tokoh HTI (dulunya) tidak berusaha menoleh lebih jauh.

Hal yang tidak disadari oleh Siddiq al-Jawi bahwa metode Silogisme atau Aristotelian Logic adalah  sebagian disiplin ilmu yang turut mengembangkan ilmu usul fiqih (baca Taha Jabir al-Alwani dalam Source Methodology in Islamic Jurisprudence,  dan buku buku lain). Jelaslah, Siddiq al-Jawi kurang luas dan mendalam ketika melihat eksistensi usul fiqih. Pikirannya cacat secara ontologis.

Di lain alinea,  Siddiq al-Jawi mengatakan melalui pertanyaan kritisnya adalah, apakah ketika sistem khilafah yang baku itu tidak ada, kemudian khilafah itu tidak wajib secara syar’i? Apakah adanya perbedaan pendapat dalam cabang-cabang hukum khilafah itu artinya khilafah hanya berstatus mubah (boleh) saja, sehingga boleh saja khilafah ditinggalkan dan diganti dengan sistem pemerintahan yang lain, semisal sistem republik?

Siddiq al-Jawi melakukan mughalathah untuk menggiring opini bahwa khilafah itu wajib dengan menunggangi alur pikiran Prof.  Mahfud MD. Silakan baca buku saya “Khilafah HTI dalam Timbangan”.

Selain mughalathah,  Siddiq al-Jawi juga ahistoris,  karena hanya melihat khilafah sebagai satu satunya sistem  politik dalam sejarah Islam tanpa ada sistem politik lain yang  absah dan pernah muncul di dunia muslim.  Memang Hizbut Tahrir berusaha membingkai sedemikian rupa dan tentu dengan sedikit membabi buta bahwa khilafah berjalan berabad abad hingga 1924 (baca buku saya). Tentu ini ahistoris. Terlebih secara ontologis, hakikat sistem negara yang dipraktekkan Nabi tidak pernah menggunakan sistem yang disebut khilafah, apalagi khilafah yang dikonsepsikan Hizbut Tahrir. Khilafah baru berjalan setelah Nabi wafat dan setelah itu ada kerajaan dan lain lain.

*Dr. Ainur Rofiq al Amin, Sekprodi S3 di Pascasarjana UIN Sunan Ampel

 

 

Harakatuna
Harakatuna
Harakatuna.com merupakan media dakwah berbasis keislaman dan kebangsaan yang fokus pada penguatan pilar-pilar kebangsaan dan keislaman dengan ciri khas keindonesiaan. Transfer Donasi ke Rekening : BRI 033901002158309 a.n PT Harakatuna Bhakti Ummat

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru